Selasa 10 Dec 2019 21:02 WIB

Mewujudkan Negara Pancasila

Mewujudkan keadilan dan kemakmuran, Pancasila harus dijalankan murni dan konsekuen.

Bayu Putra
Foto: istimewa/doc pribadi
Bayu Putra

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Putra, Ketua Balai Pancasila

Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki komitmen dan memahami buah pemikiran atau intisari cara pandang dan hidup yang disarikan para pendiri bangsa. Mereka telah membuat rumusan atau intisari yang digali dari jiwa, ruh, dan sikap hidup bangsa yang berbhineka dan penuh nilai-nilai luhur.

Adapun rumusan atau intisari tersebut adalah lima sila dari Pancasila. Pancasila yang menjadi dasar Negara. Namun  yang akhir-akhir ini Pancasila seolah dilupakan dan disepelekan oleh generasi baru anak bangsa. Bahkan oleh seorang tokoh intelektual yang lahir, hidup dan sedang menikmati seluruh kebaikan alam Indonesia. Pancasila dianggap sebagai ideologi yang gagal. Hari-hari ini Pancasila mulai dipudarkan,  ideologi-ideologi dari luar. Seolah ideologi dari luar itu lebih menarik dan dipelajari anak-anak muda masa kini.

Setiap bangsa pasti memiliki jalan sendiri sesuai karakter dan sejarah bangsa itu sendiri. Itulah mengapa dunia ini terdiri dari berbagai bangsa, suku dan agama. Apa yang baik bagi bangsa lain belum tentu baik bagi bangsa kita.

Sebenarnya para pendiri bangsa sudah meletakkan dasar bernegara yaitu Pancasila. Dasar negara ini digali berdasarkan sejarah kejayaan masa lalu, dan karakter bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama, tetapi memiliki satu kesamaan dalam hal adat istiadat ketimuran.

Tetapi kenapa seolah-olah Pancasila hanya dianggap jargon dan tampak sulit mewujudkannya? Jawabannya adalah karena sebagian besar orang memandang Pancasila tidak secara sederhana, dan tidak melihat dari sudut pandang sebagai rakyat Indonesia yang memiliki adat istiadat ketimuran.

Untuk mewujudkan sebuah negara maka Pancasila harus dijalankan secara murni dan konsekuen. Apa maksud dari kata "murni dan konsekuen"? Maksud dari kata murni adalah menerapkan secara sederhana setiap sila yang terdapat di Pancasila. Kemudian secara konsekuen yaitu secara berurutan, bertahap dalam pelaksanaannya.

Sila dalam Pancasila dibuat berurutan dari sila 1 ke sila ke 5 bukanlah hal kebetulan. Kelima sila tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi sebuah sila yang berurutan dalam pencapainnya.

Kalau kita melihat Pancasila secara utuh, apa adanya dan sederhana, maka mudah sekali mewujudkan bangsa yang besar dan memiliki karakter dan kepribadian yang kuat.

Sangat sederhana sekali. Pertama mari kita baca sila kesatu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Cukup sampai di situ kita membacanya.

Di sini tertulis Tuhan dengan awalan Ke- dan akhiran -an. Awalan Ke- dan akhiran -an memberikan kita perspektif dan sebuah pijakan paling dasar yaitu menempatkan Tuhan di atas segalanya, di atas kepentingan manusia, di atas kepentingan golongan. Menyerahkan segalanya kepada Tuhan, menyadari bahwa Tuhanlah pemilik semuanya dan Tuhanlah sebagai saksi semua perbuatan kita. Inilah arti kata "Esa". Sebuah konsep semua adalah satu kesatuan dalam kekuasaan Tuhan.

Apabila sudah menempatkan Tuhan di atas segalanya, kita tidak akan memandang manusia Indonesia dengan label-label SARA di belakangnya. Dengan begitu maka terwujudlah sebuah 'Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab'.

Sila ke-2 Pancasila ini memiliki makna bahwa Manusia Indonesia mengedepankan nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kemanusian, saling menghargai, menghormati sekaligus saling mengasihi. Karema cahaya Illahi-lah yang mengisi setiap relung hati manusia. Nilai-nilai Illahi berada di atas semua golongan, karena sudah tertanam konsep bahwa keanekaragaman, suku, ras, golongan dan agama adalah semata-mata wujud kekuasaan-Nya.

Sehingga semua warga negara akan merasa diberlakukan adil, dan seluruh warga negara akan berlaku saling adil.

Setelah menjadi manusia yang adil dan beradab, maka kita akan melangkah ke sila ke-3 yaitu 'Persatuan Indonesia'. Tanpa nilai keadilan, tanpa menjadi manusia yang beradab, sangat sulit mewujudkan toleransi, tepo-seliro, dan  menghargai, karena manusia pada dasarnya selalu mengkedepankan golongannya saja.

Bersatunya seluruh bangsa Indonesia merupakan modal dasar yang ketiga. Tanpa nilai persatuan kita tidak akan bisa melangkah ke sila ke-4, yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kita sulit berkumpul apa bila tanpa dilandasi rasa persatuan yang murni, apalagi membicarakan kepentingan bersama ?

Yang terjadi sekarang hanya sekedar bagaimana kepentingan pribadi dan golongannya terakomodasi. Bahkan berujung pada gontok-gontokan, dan pemaksaan kehendak. Salah satu yang paling mudah adalah "membeli", sehingga uang menjadi sebuah elemen yang sangat penting dalam persatuan model instant begini.

Di dasar/sila yang ke-4 bisa kita lihat bahwa penyelenggaraan pemerintahan melalui sistem musyawarah bersama agar memberikan solusi secara bijaksana, yang dilakukan oleh perwakilan dari seluruh elemen bangsa ini. Perwakilan terdiri dari wakil semua elemen masyarakat yang dipilih oleh masing-masing golongan, suku dsb. Kenapa harus wakil? bukannya semua rakyat ikut serta?. Hal ini karena tidak semua rakyat Indonesia itu mampu, baik secara emosi, intelektual, dan fisik.

Juga secara karakter dan sejarah bangsa ini yaitu setiap suku memiliki dewan perwalian adat, yang terdiri dari tokoh yang memiliki kapasitas yang mumpuni secara alamiah.

Praktek demokrasi yang mengkiblat ke barat terutama demokrasi ala Amerika Serikat, menurut saya, tidaklah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Karakter bangsa ini sangat jauh berbeda.

Bangsa Indonesia memiliki akar sejarah sejak ribuan tahun silam, yang sudah terbiasa dengan gotong royong, musyawarah, wali adat, dan sistem kerajaan. Hal ini berbeda dengan karakter bangsa Amerika Serikat yang baru berusia ratusan tahun. Bangsa Amerika Serikat tidak mempunyai kebudayaan asli. Mereka terdiri dari berbagai suku bangsa yang merantau, sehingga yang ada adalah suara mayoritas yang memerintah bangsa tersebut.

 

Dampak dari berkiblatnya kita terhadap demokrasi ala Barat, bisa dilihat bagaimana bangsa kita menanggung ongkos politik yang sangat besar melalui pilkada, pemilihan anggota dewan, dan presiden. Dan hasilnya bangsa kita menjadi terpecah belah, kerusuhan dimana-mana, korupsi merajalela.

Bangsa kita sebenarnya adalah bangsa yang santun, mengedepankan musyawarah, suka gotong royong, patuh pada tokoh masyarakat seperti dewan adat, kyai dan sebagainya. Tokoh-tokoh masyarakat itulah yang secara turun temurun membimbing bangsa ini. Sebenarnya para pendiri bangsa ini sangat memahami karakter bangsa Indonesia.

Setelah empat dasar/sila dalam Pancasila tersebut dijalankan, maka tercapailah apa yang dicita-citakan oleh kita semua, yaitu 'Keadilan Sosial Bagi Selurih Rakyat Indonesia'. Apakah itu Keadilan sosial?. Keadilan sosial adalah keadilan yang sesuai dengan hak dan kewajiban setiap rakyat Indonesia. Tentu bukanlah keadilan sama rasa sama rata. Bukan juga keadilan yang berdasarkan besaran modal. Tetapi keadilan di sini adalah keadilan dalam hukum, keadilan dalam mencari penghidupan, keadilan dalam pendidikan, keadilan yang bersifat sosial antar rakyat, dan pemerintah ke rakyat juga sebaliknya.

Keadilan untuk kemakmuran yang sebesar-besarnya untuk seluruh rakyat Indonesia. Sebuah bentuk negara yang saling mengayomi, saling berbagi dan saling melayani.

Apakah ini utopis? Tentu tidak. Di berbagai banyak daerah di Indonesia, terutama di desa-desa, sikap Pancasila secara tidak sadar dilaksanakan oleh warganya. Contohnya lumbung Desa adalah bentuk dari keadilan sosial.  Setiap Anak bangsa akan merasa mempunyai induk, yaitu sebuah negara yang akan mengayomi dan merangkul siapapun dan bagaimanapun, sesuai hak dan kewajibanya berdasarkan konstitusi.

Jayalah Bangsaku!

*) Disarikan dari diskusi Ketua Balai Pancasila Bayu Putra dengan Wasekjen Balai Pancasila Institute Jimmy Mahardika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement