REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada koordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait kasus penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Brompton. Kendati demikian, KPK belum memastikan apakah ada indikasi korupsi dalam penyelundupan yang dilakukan melalui pesawat baru Garuda Indonesia tersebut.
KPK dan Kemenkeu membahas ihwal penyelundupan di sela-sela acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2019 di gedung KPK, Jakarta, Senin (9/12). Menteri Keuangan Sri Mulyani hadir dalam acara tersebut. "Kami tadi ngomong ke Bu Sri Mulyani (Menkeu). Memang ada beberapa hal yang kami bicarakan dengan Bea Cukai dan Kemenkeu," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif seusai mengikuti acara puncak peringatan Hakordia 2019.
Syarif tak menyampaikan secara detail mengenai hal yang dibahas dengan Menkeu. Ia pun tak bisa memastikan apakah ada indikasi korupsi dalam kasus penyelundupan. "Kami belum bisa pastikan, tetapi kami ada pembicaraan," ucap Syarif.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sebelumnya mengatakan, KPK membuka kemungkinan melakukan supervisi terkait dengan kasus penyelundupan. "Kami tidak bisa masuk di situ. Supervisi paling ya. Kan itu sudah ditangani oleh PPNS. Mereka sudah melakukan itu," kata Saut, Ahad (8/12).
Saut saat itu pun mengatakan, KPK akan diundang Kementerian Keuangan pada Kamis (12/12) untuk membicarakan pengelolaan di Bandara. Terkait pengelolaan di Bandara itu, kata Saut, KPK memang sudah masuk ke dalam tata kelola di Bandara.
"Saya sudah beberapa kali ke Bandara, tanggal 12 (Desember) ini saya juga akan ke sana untuk bicara baik-baik dengan semua stakeholder yang ada di bandara, itu atas undangan mereka juga. Bandara itu salah satu pendapatan yang bisa membayar BPJS dan seterusnya," ujar Saut.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan masih melakukan investigasi kasus dugaan penyelundupan komponen motor Harley Davidson dan sepeda Brompton di pesawat pesanan PT Garuda Indonesia, Airbus A330-900. Saat ini, proses penelitian sebagai bagian dari penyelidikan tengah dilakukan.
“Update-nya masih dalam proses penelitian,” ujar Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Bea dan Cukai, Deni Surjantoro, kepada Republika, Senin (9/11).
Pada 17 November 2019, Ditjen Bea dan Cukai menemukan 18 kotak barang selundupan yang dibawa melalui pesawat baru maskapai Garuda Indonesia. Di dalamnya, terdapat komponen motor Harley Davidson dalam kondisi bekas serta ada tiga kota yang berisikan dua unit sepeda lipat merek Brompton.
Komponen motor Harley Davidson ditemukan dalam koper dengan //claimtag// atas nama SAS, sementara Brompton dalam bawaan atas nama LS. Keduanya merupakan penumpang dari pesawat bernomor GA9721 itu. Barang-barang tersebut ditemukan dalam pemeriksaan ketika pesawat tiba di hanggar PT GMF di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, dari pabrik Airbus di Prancis.
Saat ditanyakan mengenai kemungkinan apakah ada unsur tindak pidana dalam kasus penyelundupan ini, Deni mengatakan, informasi lebih lanjut mengenai temuan dalam investigasi akan diumumkan setelah rangkaian proses penyelidikan berjalan. Seperti diketahui, kepolisian masih berkoordinasi degan Bea Cukai untuk mengetahui kemungkinan tersebut. “Nanti kami sampaikan jika sudah ada perkembangan," kata Deni.
Ketua Presidium Ind Police Watch Neta S Pane menyayangkan apabila ulah konyol para pimpinan Garuda Indonesia hanya dikenakan undang-undang kepabeanan. Menurut dia, eks direksi Garuda yang terlibat juga harus dijerat hukum pidana. “Sebab, apa yang dilakukan rombongan Ari Askhara itu nyata-nyata terpenuhi unsur pidananya,” ujar Neta, Senin (9/12).
Neta menjelaskan, perbuatan yang dilakukan Ari dan jajarannya merupakan tindakan persekongkolan jahat, perbuatan menyalahgunakan wewenang, tindakan melawan hukum menyembunyikan atau menutupi barang-barang mewah yang diimpor. Kemudian, menghindari pajak guna memperoleh keuntungan secara pribadi dan kelompoknya.
Neta pun menilai para eks direksi yang terlibat harus dikenakan pasal berlapis untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. n puti almas/mabruroh/antara ed: satria kartika yudha