Senin 09 Dec 2019 18:04 WIB

YLBHI Catat 50 Masyarakat Adat Dikriminalisasi Selama 2019

Pasal yang menjerat masyarakat adat mayoritas terkait peladangan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Nur Aini
Sejumlah anak bermain di lingkungan kampung adat Prai Ijing, Desa Tebara, Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa(27/8/2019).
Foto: Antara/Anis Efizudin
Sejumlah anak bermain di lingkungan kampung adat Prai Ijing, Desa Tebara, Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa(27/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rahma Mary, menyebutkan, peraturan perundang-undangan terkait masyarakat adat yang ada saat ini belum mampu menjawab kebutuhan yang ada. Bahkan, kata dia, peraturan perundang-undangan itu menjadi penyebab utama kekerasan terhadap masyarakat adat.

"Posisinya tumpang tindih dan saling menyandera, belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat adat. Bahkan menjadi penyebab utama pengabaian dan kekerasan terhadap masyarakat adat," ujar perempuan yang biasa disapa Rahma itu dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (9/12).

Baca Juga

Rahma juga mengatakan, setidaknya ada 50 masyarakat adat yang dikriminalisasi mulai dari Januari hingga Desember 2019. Pasal-pasal yang dikenakan terhadap mereka beragam, tapi mayoritas terkena pasal yang berkaitan dengan urusan ladang. Beberapa di antaranya sudah masuk ke meja persidangan.

"Mayoritas dikenakan Pasal 108 jo 69 Undang-Undang No. 41 tahun 1999 terkait peladangan lokal, kebakaran hutan dan lahan," ujarnya.

Sebelumnya, Kapolri, Jenderal Idham Azis, menyampaikan, pihaknya telah melakukan penegakkan hukum terhadap para pembakar hutan pada 2019. Hingga 5 Desember 2019, ada sebanyak 363 kasus yang ditangani oleh kepolisian.

"Penegakan hukum sampai 5 Desember 2019 sejumlah 363, 191 kasus statusnya P21 oleh kejaksaan, 165 proses sidik, tujuh kasus proses penyelidikan, dan jumlah tersangka 416, 393 perorangan dan 23 korporasi," ungkap Idham dikutip dari keterangan tertulis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (6/12).

Idham menyampaikan, hal yang dapat dilakukan ke depan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ialah membentuk satuan tugas di daerah-daerah yang berpotensi terjadi karhutla. Ia juga mengatakan, kepolisian telah berkoordinasi dengan Jaksa Agung dan Mahkamah Agung terkait kasus-kasus yang sedang ditangani.

"Kami sudah berkordinasi dengan Jaksa Agung dan Mahkamah Agung agar para pelaku dapat dihukum dengan seadil adilnya dan tidak ada SP3 untuk kasus ini," ujar Idham.

Berikut ini daftar masyarakat adat yang dikriminalisasi milik YLBHI:

- Dua orang anggota masyarakat adat di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dikriminalisasi karena dituduh membakar lahan.

- 11 orang anggota Suku Anak Dalam, Jambi dituduh merusak dan melakukan penganiayaan, dikenai Pasal 170 KUHP.

- 27 orang aktivis penolak tambang di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara dengan tuduhan penculikan, penganiayaan, dan melawan investasi.

- Enam orang peladang Sintang, Kalimantan Barat dikriminalisasi dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan KUHP.

- Dua orang masyarakat adat Batak dituduh menganiaya karyawan PT Toba Pulp Lestari.

- Satu orang masyarakat Sumba, Nusa Tenggara Timur dijerat dengan UU ITE.

- Satu orang anggota masyarakat adat di Ketapang, Kalimantan Barat dituduh dengan pasal pencemaran nama baik.

- Satu orang anggota masyarakat adat Muara Teweh, Kalimantan Tengah, dijerat dengan tuduhan pembakaran ladang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement