Senin 09 Dec 2019 17:50 WIB

Penggugat UU KPK Soroti Paripurna DPR yang tidak Kuorum

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji formil UU KPK.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pendahuluan uji formil UU KPK.
Foto: Republika/Prayogi
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pendahuluan uji formil UU KPK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dimohonkan Ketua KPK Agus Rahardjo dan kawan-kawan. Dalam sidang pendahuluan, kuasa hukum pemohon menilai UU KPK cacat formil, salah satunya karena dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna DPR tak memenuhi syarat kuorum.

"Yang menarik, tidak terpenuhinya kuorum mengenai pembahasan Undang-Undang ini. Dalam catatan kami, setidaknya ada 180 anggota DPR yang tidak hadir dan menitipkan absennya, 270 anggota dianggap hadir padahal mereka menitipkan absen," ujar salah satu anggota kuasa hukum pemohon Feri Amsari dalam persidangan di MK, Jakarta Pusat, Senin (9/12).

Baca Juga

Feri menjelaskan, ketentuan persyaratan kuorum peserta sidang DPR diatur dalam Pasal 232 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Berdasarkan catatan Kesekretariatan Jenderal DPR, rapat paripurna persetujuan perubahan UU KPK pada 17 September 2019 dihadiri 289 dari 560 anggota DPR.

Namun, pada faktanya, berdasarkan penghitungan manual hingga pukul 12.18 WIB, hanya terdapat 102 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna. Anggota DPR yang secara fisik tidak hadir dalam ruangan sidang hanya mengisi absen kehadiran saja tetapi tidak mengikuti jalannya persidangan hingga pimpunan sidang mengetuk palu pengesahan.

Feri melanjutkan, tata tertib DPR pun menentukan sidang harus dihadiri secara fisik alias tidak ada anggota menitip absen. Menurutnya, sidang paripurna pengesahan UU KPK tidak memenuhi syarat kuorum sehingga keputusan dalam sidang tidak legitimasi formil.

Namun, Hakim MK Saldi Isra mempertanyakan bukti fisik terkait anggapan sidang paripurna tak memenuhi syarat kuorum. Sebab, pemohon hanya menyertakan berita daring dari media massa yang mengikuti jalannya persidangan.

"Dan yang paling penting adalah sebetulnya kalau tadi kuasa pemohon mengatakan ini dari pemantauan kami hadir sekian orang kira-bukti bukti apa yant bisa disodorkan ke kami untuk menyatakan bahwa yang diklaim sekian orang itu bisa kami lihat kebenarannya," ujar Saldi saat memberikan nasihat hakim.

Kemudian, salah satu tim advokasi pemohon, Violla Reininda beralasan penyajian bukti daftar hadir anggota DPR yang hadir sidang paripurna UU KPK sulit untuk diakses. Termasuk dokumen lain seperti salinan putusan rapat pimpinan badan legislasi (baleg).

Ia mengaku, sudah beberapa kali mengajukan permohonan agar dapat mengakses dokumen tersebut ke pusat informasi DPR. Akan tetapi, sampai persidangan pendahuluan ini tidak ada respons positif dari pusat informasi DPR.

"Jadi kami belum dapat untuk mengajukan bukti-bukti tersebut ke dalam persidangan. Dan ini pun sudah kami tegaskan juga dalam dalil permohonan kami bahwa proses pembentukan ini (UU KPK) tidak memenuhi akses keterbukaan dan juga proses penyebarluasannya pun cukup minim pada masyarakat," jelas Violla.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement