REPUBLIKA.CO.ID,
Wawancara Ace Hasan Syadzily, Wakil Ketua Komisi VIII DPR (Bidang Agama) dari Fraksi Golkar
Bagaimana tanggapan Anda soal kebijakan Kemenag menghapuskan materi khilafah dan perang dihapuskan dari kurikulum?
Soal khilafah dan perang itu kita objektif saja. Maksudnya begini, kita juga tidak bisa menghilangkan sejarah Islam yang pernah ada pada sistem khilafah, karena kita tidak bisa menutupi tentang itu, misal bahwa Islam pernah jaya di masa-masa tertentu. Tapi, kita juga harus mengungkapkan di buku sisi kelemahan-kelemahan khilafah. Secara pribadi, kita harus mengubur khilafah.
Apa rencana ini juga berdampak pada revisi buku-buku agama yang sebelumnya juga direncanakan?
Tujuannya baik, agar anak-anak menjadi beragama, tetapi dengan pemahaman yang sesuai dengan kehidupan kebangsaan Indonesia. Tapi, jangan sampai hanya karena ingin pembelajaran keagamaan sesuai dengan ajaran kebangsaan, harus menyembunyikan substansi keagamaan.
Semua agama pasti mengajarkan tentang nilai-nilai luhur. Upaya mengganti kurikulum harus lebih diarahkan untuk membangun karakter siswa dengan nilai-nilai akhlakul karimah. Penguatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, bersikap agama secara toleran, moderat, dan inklusif.
Bagaimana imbauan ke pemerintah terkait wacana penghapusan materi khilafah dan perang ini?
Intinya, jangan lupa bahwa kita (dalam agama Islam) pernah lintasan sejarah pernah khilafah. Itu menurut kami tetap harus diangkat karena kita tidak bisa menutupi sejarah itu.
Khusus pelajaran agama, kementerian agama harus berkoordinasi atau menggandeng institusi keulamaan, seperti majelis ulama, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah. Juga perguruan tinggi agama Islam yang selama ini memang mereka melakukan kajian-kajian terhadap studi-studi agama. Tapi, khilafah sudah tertolak di Indonesia ini. Sekarang saatnya kita memperkuat NKRI kita.
Apa imbauan ke Kementeria Agama juga agar hal ini tidak terlalu melenceng dari tujuan?
Jangan melampaui batas. Kemenag dapat menggelar diskusi dengan ulama terlebih dahulu agar mendapat satu penafsiran yang tidak sepihak terkait materi-materi yang akan dituliskan. Kalau cara revisinya dalam rangka mereduksi penafsiran sepihak lalu mengambil penafsiran mayoritas ulama, saya kira masih bisa dimengerti.
(ed: fitriyan zamzami)