REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman menilai pengelolaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia sudah cukup baik. Pengoperasian PLTU pun sudah memperhatikan efek terhadap lingkungan.
Hal tersebut diketahui Alpha Research setelah melakukan peninjauan ke sejumlah PLTU. Salah satunya PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur. PLTU Paiton sendiri sudah berdiri sejak tahun 1994 sebagai salah satu PLTU terbesar dan penyuplai listrik terbesar di daerah Jawa-Bali.
Selama melakukan kunjungan, ia mengaku tidak menemukan keluhan dari masyarakat sekitar. Ia menjelaskan, PLTU Paiton yang menggunakan batu baru sebagai bahan bakunya hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai.
“Kami beberapa kali kesana, sejauh ini keluhannya tidak ada. Selain menjadi penopang ekonomi, terumbu karang dan biota-biota laut yang ada hidup di sekitar itu dan tidak terganggu dengan kehadiran PLTU itu,” kata Ferdy dalam keterangan tertulis, Selasa (3/12).
Penemuan itu berbanding terbalik dengan asumsinya sebelum berkunjung ke Paiton. Awalnya, ia mengira keberadaan PLTU Paiton bakal merusak biota laut dan terumbu karena amat berdekatan dengan bibir pantai.
"Dari penelusuran, ternyata tidak demikian. Malah masih terjaga dengan baik, tidak ada satupun yang rusak. Itu hasil penelusuran kami di lapangan," katanya.
Menurut Ferdy, manajemen Paiton sudah mengukur efek dan dampak jika terjadi kerusakan lingkungan hidup dari keberadaan PLTU itu. Ia mengatakan, jika kajian awal menunjukkan keberadaan PLTU bakal merusak lingkungan, maka Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pasti tak akan memberikan izin AMDAL.
Ia pun menemukan hal serupa pada PLTU unit 1 dan 2 di Cirebon. "Sama dengan Paiton, PLTU unit 1 Cirebon itu mengadopsi teknologi yang sama, menjaga jangan sampai mencemarkan lingkungan. Sampai sekarang KLHK pada kedua PLTU itu belum mengeluarkan teguran apa-apa. Bahkan PLTU itu menjadi rujukan para peneliti bahwa ada sampel yang cukup sukses untuk membangun PLTU,” ujar Ferdy.
Dengan demikian Ferdy berkesimpulan, meskipun secara teoritis batu bara mengandung karbon yang tinggi dan unsur polutannya besar, namun resiko itu bisa diminimaliskan dengan manajemen yang mengelola PLTU dengan baik. Ia pun mendorong agar setiap PLTU yang ada di Indonesia juga dilengkapi teknologi super critical represitator untuk meminimalkan sebaran fly ash dan buttom ash.