REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M Pratama menyarankan, rekapitulasi elektronik atau e-rekap diuji coba terlebih dahulu sebelum benar-benar diterapkan. Menurut dia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI seharusnya mengambil kesempatan Pilkada 2020 untuk uji coba e-rekap demi membangun kepercayaan publik di pemilihan berikutnya.
"Kalau langsung diterapkan kami khawatir, kita punya problem kerangka hukum Undang-Undang Pilkada yang belum memadai," ujar Heroik usai peluncuran buku berjudul Panduan Penerapan Teknologi Pungut-Hitung di Pemilu, Selasa (3/12).
Ia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) belum memuat secara spesifik terkait penggunaan teknologi pungut maupun hitung. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), beberapa pasal sudah menyebutkan dan memperbolehkan penggunaan teknologi tersebut.
Namun, UU Pilkada tersebut hanya mengatur tahapan pemungutan dan penghitungan suara yang memanfaatkan teknologi. Sementara tahapan penentuan hasil, termasuk aturan mengenai keadilan pemilu yang berkaitan dengan desain sengketa pemilu ketika penerapan teknologi itu, tidak diatur dalam UU Pilkada.
"Undang-undang Pilkada tidak mengatur mekanisme sengketa itu yang ketika menggunakan teknologi pemilu, termasuk peran Bawaslu di sana. Undang-Undang Pilkada tidak spesifik membahas hal itu," kata Heroik.
Dalam buku tersebut, lanjut Heroik, jika disandingkan dengan pengalaman di berbagai negara yang menerapkan e-rekap, tidak serta-merta bisa diterapkan dalam Pilkada 2020. Filipina dan Kenya melakukan uji coba secara bertahap sebelum benar-benar menggunakan teknologi untuk hasil penghitungan suara.
Meskipun Indonesia sudah menggunakan teknologi dalam penghitungan suara dalam beberapa pemilu sebelumnya, tetapi hanya sebatas tabulasi data sebagai informasi. Akan tetapi, untuk tahapan yang lebih formal yakni menjadikan hasil rekapitulasi elektronik sebagai hasil absah proses penghitungan suara belum pernah dilakukan.
Heroik menyarankan, pada Pilkada 2020 mendatang, KPU melakukan uji coba e-rekap secara serius dan komprehensif di beberapa daerah. Meski hasilnya belum bisa menjadi hasil resmi penghitungan suara tetapi bisa menjadi pembanding dengan hasil penghitungan suara secara manual.
Jika hasilnya sama antara penghitungan suara secara manual dan teknologi, maka sedikit demi sedikit bisa meyakinkan publik. Sehingga masyarakat nantinya percaya dan siap dalam penggunaan rekapitulasi elektronik.
"Di ibuku itu juga kami melibatkan bagaimana perlu ada sertifikasi teknologi, audit teknologi, yang tidak hanya melibatkan internal penyelenggara, tapi melibatkan beberapa aktor lainnya agar terbangun kepercayaan kepada sistem tersebut," ungkap Heroik.
Ia melanjutkan, daerah-daerah yang bisa melakukan uji coba e-rekap dapat ditentukan KPU RI dengan berbagai instrumen. Pengalaman daerah dalam Pemilu 2019 bisa menjadi salah satu instrumen untuk menilai kesiapan daerah menerapkan rekapitulasi elektronik.
Heroik menyebutkan, kriteria bagi daerah yang bisa menerapkan uji coba e-rekap bisa dilihat dari kesiapan sumber daya manusia (SDM), kesiapan teknologi termasuk jaringan internet, dan jumlah pemilih di daerah tersebut. KPU bisa menengok pengalam daerah yang sudah 100 persen mengunggah hasil di Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) Pemilu 2019 lalu.
"KPU punya database daerah-daerah mana saja yang hasil Situngnya itu 100 persen pada hari H pemungutan suara. Bisa jadi infrastrukturnya sudah memadai, SDM-nya sudah memadai, yang artinya itu bisa dijadikan rujukan uji coba," kata Heroik.