Senin 02 Dec 2019 19:18 WIB

Putusan Perkara Perdata First Travel tidak Bulat

Ketua Majelis Hakim PN Depok berbeda pendapat (dissenting opion) dalam putusannya.

Hakim Ketua Remon Wahyudi (kanan) membacakan Putusan Gugatan Perdata kasus First Travel di Pengadilan Negeri, Depok, Jawa Barat, Senin (2/12/2019).
Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
Hakim Ketua Remon Wahyudi (kanan) membacakan Putusan Gugatan Perdata kasus First Travel di Pengadilan Negeri, Depok, Jawa Barat, Senin (2/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rusdy Nurdiansyah

Putusan gugatan perdata jamaah korban penipuan umrah First Travel ternyata tidak bulat. Ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) antara ketua Majelis Hakim dan hakim anggota dalam sidang putusan gugatan perdata aset First Travel di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Senin (2/12).

Baca Juga

Humas PN Kota Depok Nanang Herjunanto mengatakan, Ketua Majelis Hakim Raymond Wahyudi sempat mengajukan perbedaan pendapat ketika dilakukan musyawarah. "Dapat kami jelaskan putusan ini, tidak bulat. Saat dilakukan musyawarah, ada perbedaan pendapat dari perkara tersebut," ujar Nanang yang melakukan jumpa pers usai sidang di PN Depok, Senin (2/12).

Namun, secara garis besar akhirnya disepakati oleh seluruh majelis hakim bahwa, hasil dari sidang putusan adalah menolak seluruh gugatan perdata yang diajukan korban jamaah First Travel. "Tapi, dalam amar putusan tetap menyatakan bahwa seluruh gugatan mereka tidak diterima," tegas Nanang.

Selain itu, lanjut Nanang, dalam amar putusan juga disebutkan hukuman untuk penggugat kasus perdata tersebut membayar biaya perkara. "Kedua, menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng sejumlah Rp 811 ribu," terangnya.

Nanang menambahkan, bagi pihak-pihak yang tidak bisa menerima putusan tersebut maka dipersilahkan untuk mengajukan upaya hukum banding. Pihak penggugat diberikan waktu 14 hari untuk mengajukan banding.

Selama proses persidangan, terlihat perbedaan pendapat antara Ketua Majelis Hakim dan Hakim Anggota PN Depok. Dalam pertimbangannya Hakim Anggota Nugraha Medica Prakasa, gugatan yang diajukan para penggugat yang terdiri atas agen First Travel dan jamaah cacat formil. Kemudian, kelompok penggugat tersebut dianggap tidak mencantumkan secara jelas kerugian-kerugian yang dialami.

"Menimbang bahwa uraian pertimbangan di atas dan fakta hukum, maka majelis hakim melihat ada penggugat yang tidak memenuhi persyaratan. Oleh karena itu, penggugat I, II, III, IV dan V tidak memiliki kedudukan sah dalam hukum untuk mewakili jamaah yang mengugat sebanyak 3.275 orang, sehingga majelis hakim menilai gugatan ini cacat formil," jelas Nugraha.

Selanjutnya, gugatan atas kerugian yang totalnya mencapai Rp 49 miliar juga dinilai anggota majelis hakim tidak terperinci dan jelas. Majelis hakim tidak menemukan perincian uang yang yang telah diberikan jamaah kepada penggugat.

"Bahwa dengan pertimbangan di atas dalil posita penggugat hanya jelaskan bahwa penggugat memiliki jamaah 3.275, dan setiap jamaah telah berikan uang kepada penggugat. Namun majelis hakim tidak temukan rinci satu persatu uang yang diberikan jamaah kepada penggugat. Begitu juga dengan bukti yang diberikan para penggugat. Akan tetapi angka petitum para penggugat meminta ganti kerugian. Menimbang gugatan formil harus jelas," papar Nugraha.

Namun, hakim ketua Raymon Wahyudi menyampaikan dissenting opinion (DO) atas pertimbangan dua hakim anggota yang memeriksa, yaitu hakim Nugraha dan hakim Yulinda Trimurti Asih. Raymon mengaku tidak sepakat dengan pertimbangan kedua hakim yang menyebut gugatan jamaah cacat formil dan kabur.

"Tentang pertimbangan hukum, bahwa saya tidak sependapat. Terkait dengan gugatan kabur dan tuntutan hukum karena legal standing," tegas Ramon.

Dia menilai semua penggugat mulai dari penggugat I hingga V. Itu semuanya memiliki hubungan hukum dengan bos First Travel Andika Surachman. Di mana penggugat I dan III adalah agen, penggugat IV dan V adalah jamaah First Travel yang tidak berangkat. Sehingga, kelima penggugat memiliki hak untuk menggugat dan tidak cacat formil.

"Maka dapat disimpulkan penggugat terdiri dari berada di pihak tergugat. Bahwa dalam hukum acara perdata ada dalil menyatakan bisa mendapat keadilan. Jadi dapat disimpulkan bahwa ajukan hak itu harus ada hubungan hukum, dalam hal ini pihak penggugat ada hubungan hukum karena agen dan jemaah," kata Raymon.

Jamaah kecewa

Gugatan perdata ini sebelumnya diajukan oleh Anny Suhartaty, Ira Faizah, Devi Kusrini, Zuherial dan Ario Tedjo Dewanggono terhadap bos First Travel Andika Surachman dan turut tergugat Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kepala Kejaksaan Negeri Depok. Nilai gugatan perdata sebesar Rp 49 miliar.

Para jamaah itu terkelompok menjadi lima penggugat. Yakni, Penggugat I sebesar Rp 20 miliar, Penggugat II sebesar Rp 2 miliar, Penggugat III sebesar Rp 26,841 miliar, Penggugat IV sebesar Rp 84 juta dan Penggugat V sebesar Rp 41,9 juta.

Ketika hasil putusan diketuk palu oleh Ketua Majelis Hakim Raymon Wahyudi, ratusan jamaah yang memadati ruang sidang maupun di luar ruang sidang berteriak histeris dan kecewa. "Putusan hakim tidak jelas, kalau begini saya minta uang saya kembali," ujar seorang jamaah asal Tangerang, Madani.

Menurut Madani, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) harus bertanggungjawab karena menggeluarkan izin perusahaan biro perjalanan umrah dan haji First Travel. "Kemenag yang memberi izin dan harus bertanggungjawab jika ada masalah, jangan lepas tanggungjawab. Buat apa ada banding lagi, saya sudah tidak percaya lagi sama hakim. Orang bego saja tahu, kalau itu uang kami, kok putusannya aset disita negara, bagaimana pola pikir majelis hakim," tuturnya.

Seorang jamaah lainnya, Suminah menegaskan sangat kecewa dengan putusan majelis hakim. "Sangat kecewa, saya tidak ridho. Pengadilan tidak berpihak kepada kita, putusannya tidak jelas. Sekarang, kami jamaah minta pemerintah bertanggungjawab untuk memberangkatkan kami umrah," terangnya.

Juru bicara 30 ribu jamaah, Natali mengatakan, tidak akan berharap banyak pada proses pengadilan dan lebih berupaya untuk bernogosiasi dengan pemerintah dalam hal ini Kemenag. Pihaknya, sudah mengirim surat ke Kemenag pada 25 November 2019 dan langsung mendapat surat tanggapan dari Kemenag pada 28 November 2019.

"Kami menyambut gembira karena sudah mendapat jawaban bahwa Kemenag akan bertanggungjawab memberangkatkan umrah 63 ribu korban First Tarvel secara bertahap," tuturnya.

Menurut Natali, berdasarkan UU, penyelenggaraan perjalanan ibadah haji dan umrah yang dapat dilakukan pemerintah dilakukan jika terdapat keadaan luar biasa atau kondisi darurat. "Pak Menteri Agama sudah minta data yang akurat dan segera data basenya akan kita kumpulkan. Kami sudah menunjuk beberapa koordinator dan meminta jamaah yang belum terdaftar segera mendaftar. Kami akan urus jamaah yang sudah lunas pembayarannya. Saat ini yang mendaftar sudah 30 ribu jamaah. Kepastian kapan diberangkatkan para jamaah, kita tunggu kebijakan Kemenag," jelasnya.

photo
Jamaah kecewa putusan hakim terkait tidak diterimanya gugatan perdata aset First Travel di PN Depok, Senin (2/12).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement