REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surat keputusan bersama (SKB) 11 menteri dan kepala lembaga negara diyakini bukan solusi mengatasi radikalisme di aparatur sipil negara (ASN). Menurut Amnesty International Indonesia, SKB tersebut malah menampilkan wajah baru pemerintahan yang cenderung represif.
Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid mengatakan, SKB tersebut menjadi alat baru untuk mengekang kebebasan berkeyakinan dan berpendapat di Indonesia. “SKB ini tidak akan bisa memangkas radikalisme. Justru keputusan itu mengingatkan kita kembali ke era represi Orde Baru (Orba),” kata Usman, Kamis (28/11).
SKB itu ditandatangani pada Selasa (12/11) lalu. Terdapat 11 poin larangan bagi ASN dalam aturan tersebut, didominasi terkait perilaku di media sosial. Pemerintah juga telah meluncurkan portal http://aduanasn.id agar masyarakat bisa melaporkan ASN.
Menurut Usman, ada sejumlah kecacatan dalam isi SKB tersebut. Salah satunya tentang batasan dan larangan ASN di medsos. “Aturan dalam SKB-11 ini samar, tidak memiliki dasar yang kuat, dan terlalu luas,” kata Usman. Ia mencontohkan larangan seorang ASN mengapresiasi unggahan orang lain di medsos, yang unggahan tersebut dinilai mengandung ujaran kebencian terhadap identitas dan semboyan bangsa. Menurut dia, SKB tak memberikan defenisi jelas tentang ujaran kebencian ataupun semboyan kebangsaan.
Amnesty meminta SKB tersebut kembali dikaji keberlakuannya atau direvisi kalau tidak dicabut. Pasalnya, kandungan SKB-11 berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar dalam pemajuan hak asasi manusia (HAM). “SKB ini harus menyesuaikan dengan standar pengakuan HAM internasional dan konstitusi Indonesia sendiri agar dapat memastikan tidak mematikan kebebasan berekspresi maupun berpendapat,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi juga mengkritisi terbitnya SKB penanganan radikalisme di kalangan ASN tersebut. Arwani menyebut, SKB itu justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mendisiplinkan aparaturnya di kementerian masing-masing.
Arwani menilai, tanpa SKB ini pun, setiap kementerian dan lembaga dapat memberi pengawasan, pencegahan, dan pendisiplinan terhadap ASN. "Toh, aturannya sudah tersedia," kata dia. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah penegakan aturan yang bentuknya pengawasan dan pencegahan. Posisi inspektorat di setiap kementerian dan lembaga semestinya lebih dimaksimalkan.
ASN bermain medsos. (ilustrasi)
Poltikus PPP ini menilai materi SKB itu juga tidak ada yang baru. Sejumlah poin yang terkandung telah menjadi norma di sejumlah aturan yang ada. Namun, polemik muncul ketika norma tersebut dibunyikan kembali melalui SKB.
Arwani meminta pemerintah tidak terjebak pada hiruk pikuk yang tidak perlu, termasuk penerbitan SKB sehingga esensi persoalan di seputar birokrasi dan ASN menjadi kabur. "Isu mengenai reformasi birokrasi seperti soal perampingan jabatan struktural mestinya lebih didorong ke publik," kata Arwani.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengeklaim SKB itu sebagai dasar melindungi aparatur sipil negara. Dengan surat itu, lembaga negara akan membentengi ASN dari ideologi yang mengancam eksistensi dan kedaulatan negara. “Tentu kami menjadikan itu sebagai pijakan dalam membina para ASN,” ujar anggota KASN, Arie Budhiman.
Menurut dia, ada empat perspektif KASN dalam SKB tersebut. Pertama, berdasarkan prinsip dasar, ASN mempunyai nilai dasar dan kode etik perilaku. Poinnya adalah mereka harus loyal kepada Pancasila. “Ini adalah dasar yang menjadi acuan kami,” ujar Arie.
Ketika ada ideologi lain yang datang, bahkan kemudian mengancam Pancasila, SKB bisa memproteksi para ASN. Hal itu menjadi perspektif kedua, yaitu mencegah ASN terpapar ideologi yang merusak negeri, di antaranya ekstremisme yang bersifat eksklusif.
Ketiga, KASN wajib melindungi dan menjaga keutuhan ASN yang kini berjumlah 4,2 juta orang. “Kami tak ingin mereka dirusak dengan paham yang destruktif,” kata mantan kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta ini.
Terakhir, SKB bertujuan menjaga netralitas ASN dengan tidak berafiliasi kepada gerakan politik tertentu. Semuanya harus berdiri sendiri mengabdi untuk negeri. Arie menjelaskan, semua perspektif itu harus dijaga dan menjadi kemaslahatan bersama. n bambang noroyono/erdy nasrul/arif satrio nugroho, ed: ilham tirta