Rabu 27 Nov 2019 18:15 WIB

Persentase Pelecehan Seksual di Transportasi Umum Tinggi

Survei: 3 dari 5 perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Penumpang menunggu Bus Transjakarta (Ilustrasi). Hasil survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menunjukkan, tiga dari lima perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Pelecehan seksual juga dialami laki-laki.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Penumpang menunggu Bus Transjakarta (Ilustrasi). Hasil survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menunjukkan, tiga dari lima perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Pelecehan seksual juga dialami laki-laki.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Hasil survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menunjukkan, tiga dari lima perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Pelecehan seksual di ruang publik tidak hanya terjadi kepada perempuan, tetapi juga laki-laki dengan rasio satu banding 10.

Dalam survei yang dilakukan pada 2018 terhadap 62.224 responden itu ditemukan, perempuan 13 kali lebih rentan mengalami pelecehan di ruang publik jika dibandingkan dengan laki-laki. Dari analisis data survei tersebut KRPA menemukan, 46,80 persen responden pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum.

Baca Juga

“Itu menjadikan transportasi umum sebagai lokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan setelah jalanan umum.” kata Rastra, perwakilan dari Lentera Sintas Indonesia, dalam konferensi pers di Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Rabu (26/11).

Ia menjelaskan, moda transportasi umum yang dilaporkan terjadi pelecehan, antara lain bus sebesar 35,8 persen, angkot 29,49 persen, KRL 18,14 persen, ojek daring 4,79 persen, dan ojek konvensional 4,27 persen. Responden perempuan yang melaporkan mengalami pelecehan di bus sebanyak 35,45 persen, angkot 30,01 persen, dan KRL 17,79 persen.

Untuk responden laki-laki yang melaporkan mengalami pelecehan seksual di bis ada sebanyak 42,89 persen, KRL 24,86 persen, dan angkot 19,65 persen. “Masyarakat kita sejauh ini hanya mengenal pelecehan dalam bentuk fisik, seperti diraba atau digesek-gesek denan alat kelamin saat menggunakan transportasi umum. Namun, dari hasil survei nasional kami, ada 19 bentuk pelecehan yang responden alami di transportasi umum,” kata dia.

Dari data survei tersebut, pelecehan yang kerap terjadi di transportasi umum datang dalam bentuk verbal, fisik, dan non-fisik. Pelecehan itu terjadi mulai dari siulan, suara kecupan, komentar atas tubuh, komentar seksual yang gamblang, komentar seksis, main mata, difoto sembunyi-sembunyi, komentar rasis, diintip, diklakson, gestur vulgar.

Selain itu, ada pula pelecehan berupa dipertontonkan masturbasi publik, dihadang, diperlihatkan kelamin, didekati dengan agresif terus menerus, dikuntit, hingga disentuh, diraba, dan digesek menggunakan alat kelamin. Menurut Rastra, masyarakat perlu mengetahui beragam bentuk pelecehan tersebut.

“Penting untuk masyarakat tahu beragam bentuk pelecehan ini agar lebih dapat mengidentifikasi sehingga kemudian dapat membantu mengintervensi ketika pelecehan terjadi,” ujar dia.

Masih berdasarkan survei yang sama, 40,5 persen responden yang mengaku mengalami pelecehan seksual mengaku, mayoritas saksi yang ada di sekitar mereka masih banyak yang mengabaikan kejadian pelecehan itu. Bahkan, 14,8 persen responden mengaku ada saksi yang justru semakin memperparah keadaan dengan menertawai atau menyalahkan korbam saat melihat pelecehan terjadi.

Responden yang mengaku ada saksi yang menolong dan membela korban sebesar 36,5 persen. Dari jumlah tersebut, 22,9 persennya melakukan dengan cara mengonfrontasi pelaku secara langsung atau direct, 25 persen dengan mengalihkan perhatian pelaku atau distract, dengan memastikan korban tidak apa-apa atau delay sebanyak 33,9 persen, dan dengan mencari bantuan pihak ketiga atau delegasi sebanyak 13,4 persen.

“Untuk saksi, sering saya tanya kenapa teman-teman (saksi) tak melakukan intervensi. Pertama alasannya takut, tak tahu harus melakukan apa, merasa ini bukan urusan mereka, atau menunggu orang lain akan menolong,” ujar perwakilan dari Hollaback Jakarta, Vivi.

Padahal, kata dia, ketika pelecehan terjadi di ruang publik, orang di sekitar korban atau saksi memiliki tanggung jawab untuk membantu mengintervensi atau menghentikan kejadian. Cara yang dapat dilakukan ialah 5D, yakni  langkah-langkah yang telah disebutkan di atas, direct, distract, delay, delegasi, ditambah dokumentasi.

“Tapi ada empat hal yang harus diingat (dalam dokumentasi). Pertama kita harus jaga jarak, kedua, make sure tanda-tanda sekitar kelihatan, ketiga catat tanggal dan waktu, keempat dokumentasi itu bukan milik klian tapi milik korban. Jadi tanyakan persetujuan korban apa yang ingin kita lakukan dengan dokumentasi itu,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement