REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi Annas Maamun. Mantan Gubernur Riau itu, dipotong masa pidananya, dari tujuh tahun menjadi enam tahun.
Partai Demokrat menyerahkan seluruh keputusan soal grasi kepada Jokowi. Namun, mereka menyangankan Jokowi yang memberi grasi tanpa berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait.
"Setahu saya, Presiden SBY dulu selalu meminta pandangan pihak yang memahami kasus pemohon grasi, seperti kepada hakim-hakim MA," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Renanda Bachtar kepada Republika, Rabu (27/11).
Pihaknya juga menyayangkan sikap Jokowi yang tak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum memberi grasi. Sebab, mungkin saja ada kasus yang melibatkan Annas masih dalam penyidikan komisi anti-rasuah tersebut.
"Kemudian ini menjadi diperbincangkan karena pihak KPK terkejut dengan hal ini. Selain menyisakan tanda tanya apakah selama ini KPK dan MA tidak dimintai pandangan oleh Presiden," ujar Renanda.
Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku terkejut mendengar hal tersebut. Sebab, mereka mengaku belum mengetahui alasan pemerintah memberikan grasi kepada Annas.
"Pada saat yang sama kami belum mendapatkan informasi apa alasan dari pemerintah untuk menetapkan Pak Anas diberikan grasi. Jadi kami kaget juga," ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
Meski begitu, KPK berharap Annas tetap koorperatif meski nantinya ia sudah dibebasaskan. Sebab, kata Laode, sebagian kasus yang menimpa mantan Gubernur Riau itu masih dalam penyidikan KPK.
"Kami berharap walaupun dia sudah di luar, akan koorperatif terus. Untuk menindak lanjuti kasus yang berhubungan dengan dirinya," ujar Laode.