Ahad 24 Nov 2019 19:30 WIB

Ahok Komut BUMN, Ini Kata Qodari

Qodari meminta pemerintah buat kebijakan jelas soal pengisian jabatan publik.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Foto: Antara/Andika Wahyu
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Basuki Tjahaja Purnama (BTP) telah diangkap menjabat sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina. Sejumlah pihak menilai Ahok, sapan akrab Basuki, harus mundur dari PDIP. 

Namun Direktur Eksekutif Indobarometer M. Qodari menganggap soal permintaan mundur Ahok lebih baik dikembalikan ke aturan. 

Baca Juga

"Menurut saya dikembalikan saja pada aturan yang berlaku. Kalau soal komisaris dikembalikan pada UU tentang BUMN misalnya. Tentang menteri ya pakai UU-nya yang sesuai," kata Qodari pada Republika.co.id, Ahad (24/11).

Diketahui, ada Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/02/2015. Beleid itu mengatur sejumlah syarat, antara lain komisaris atau direksi BUMN bukan pengurus Partai Politik dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif.

Atas dasar itu, BTP dianggap bisa tetap menduduki jabatan di BUMN tanpa perlu melepaskan keanggotaannya sebagai kader parpol. Sebab BTP bukan pengurus, melainkan hanya kader PDIP.

Walau begitu, Qodari mengakui ada sejumlah jabatan di pemerintahan yang kental dengan aroma kepentingan politik. Misalnya jabatan menteri atau komisaris BUMN.

"Kalau bicara political appointee (penunjukkan secara politis) artinya pejabat yang ditunjuk seharusnya tidak masalah kalau ada latar belakang politik, namanya juga political appointee. Lain kalau kita bicara jabatan profesional yang mungkin mengharuskan seseorang untuk lepas dari afiliasi politik tertentu," ujar Qodari.

Ke depannya, Qodari ingin pemerintah punya kebijakan yang ajeg soal pengisian jabatan di pemerintahan oleh kader parpol. Sehingga tak terjadi kontroversi di kemudian hari jika jabatan pemerintahan diisi kader atau pengurus parpol.

Saat membentuk Kabinet Kerja pada 2014 lalu, Jokowi melarang para menterinya untuk rangkap jabatan baik sebagai ketua umum atau pengurus parpol.

Para pengurus parpol yang menjadi menteri pun harus mengundurkan diri. Hanya saja, aturan itu tak berlaku lagi sejak Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto masuk kabinet pada 2016.

"Kalau ada Undang-Undang yang belum sinkron, misal antara komisaris BUMN dengan menteri apa boleh anggota parpol ya ini jadi PR pemerintah untuk dituntaskan," ucap Qodari.

Jika merujuk pada UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, tak ada larangan menteri menjabat sebagai pimpinan partai politik. Tetapi menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD. Parpol merupakan salah satu organisasi yang pendanaannya berasal dari APBN/APBD.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement