Kamis 21 Nov 2019 15:02 WIB

Ketika Konstitusi Lebanon Kesempitan

Baju konstitusi itu lebih sering terlalu sempit bagi Lebanon.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Dulu Lebanon pernah berjuluk "Swiss di Timur Tengah" karena kekuatan finansialnya. Juga lantaran ia merupakan pusat perbankan terpenting bagi banyak negara Arab.

Negara kecil nan cantik di bibir Laut Tengah ini juga pernah dijuluki sebagai "Parisnya Timur Tengah" lantaran banyaknya wisatawan berkunjung ke sana, utamanya dari orang-orang kaya Arab, untuk liburan sekaligus berbisnis. Itu dulu, ketika Lebanon masih aman, nyaman, dan makmur. Yaitu saat konstitusi negara dapat mewadahi distribusi demografis aliran-aliran keagamaan di sana.

Republik Lebanon (al-Jumhuriyah al-Libnaniyah) adalah nama resmi negara itu. Sistemnya demokratis parlementer dengan mengakomodasi keberadaan sekte-sekte keagamaan: konfesionalisme. Yaitu membagi kekuasaan semerata mungkin berdasarkan aliran-aliran agama yang berbeda-beda demi menghindarkan terjadinya konflik sektarian.

Ada 18 kelompok yang diakui di negara itu, yang disebut sebagai sekte dari Kristen dan Islam. Pembagian kekuasaan berdasarkan pada proporsi kelompok-kelompok ini. Sebagai misal, presiden harus dijabat seorang Katolik Maronit, perdana menteri (PM) seorang Muslim Sunni, wakil PM Kristen Ortodoks, dan ketua parlemen seorang Syiah. Pun dengan menteri-menteri, dibagi secara proporsional menurut kelompok-kelompok keagamaan tersebut.

Pembagian kekuasaan itu sebenarnya hanyalah hasil kesepakatan antara presiden (Maronit) dan perdana menteri (Sunni) pada 1943. Waktu itu, Lebanon baru saja merdeka dari Prancis. Kesepakatan itu tidak tertulis, tetapi menjadi semacam konvensi yang berlaku pada tahun-tahun kemudian. Baru pada 1990 diformalkan menjadi konstitusi.

Pembagian kekuasaan seperti itu juga terjadi di parlemen, yang mempunyai 128 kursi. Sebelum tahun 1990, rasio pembagiannya adalah 6:5, yang lebih menguntungkan kelompok Kristen. Namun, Perjanjian Taif (Saudi) pada 1989 yang mengakhiri perang saudara 1975-1990 mengubah rasio itu untuk memberikan representasi yang sama bagi para pemeluk Islam dan Kristen.

Berikut ini jumlah anggota Parlemen Lebanon yang diatur pembagiannya berdasarkan agama yang dianut. Jatah untuk Kristen 64 kursi, dengan perincian: Maronit 34 kursi, Ortodoks Yunani 14, Katolik Yunani 8, Ortodoks Armenia 5, Katolik Armenia 1, Protestan 1, dan yang dikategorikan lain-lain 1 kursi. Sedangkan, jatah untuk orang Islam juga sama, 64 kursi. Perinciannya, Suni 27 kursi, Syiah 27, Druze 8, dan Alawi (Syiah) 2 kursi.

Para anggota parlemen yang sektarian ini dipilih dalam pemilihan langsung yang berbasis partai politik setiap empat tahun. Mereka kemudian memilih presiden (Maronit) untuk masa ja batan enam tahun. Presiden kemudian menunjuk perdana menteri (Sunni) berdasarkan perolehan kursi partai di parlemen. PM lalu menunjuk menteri-menteri berbasiskan proporsi pembagian kelompok keagamaan tadi guna mendapatkan kepercayaan dari anggota parlemen.

Dengan sistem kekuasaan yang 'ribet" seperti ini, perjalanan sejarah pemerintahan Lebanon pun mengalami pasang surut. Adakalanya negara itu menikmati ketenangan seperti yang terjadi antara tahun 1943 hingga 1975. Inilah masa-masa kemakmuran negara itu sehingga dijuluki sebabagai "si Swiss" dan "si Paris" di Timur Tengah. Inilah masa-masa ketika "baju konstitusi" Lebanon masih pas digunakan para warganya yang terbagi dalam 18 kelompok keagamaan tadi.

Namun, baju konstitusi itu lebih sering terlalu sempit bagi Lebanon, antara lain akibat perubahan demografi penduduk, di mana warga Muslim menjadi lebih banyak dari warga Kristen. Lalu, muncul tuntutan keadilan yang kemudian memicu perang saudara (1975-1990).

Selama perang saudara itu, ekonomi Lebanon pun berantakan, Beirut (ibu kota Lebanon) hancur. Diperkirakan antara 130 ribu hingga 250 ribu war ga tewas dan 1 juta lainnya luka-luka. Pa sukan asing, terutama Israel, pun mulai masuk ke Le banon.

Selanjutnya, jutaan warga berimigrasi atau menjadi pengungsi. Inilah yang menyebabkan jumlah imigran Lebanon lebih banyak dibanding kan dengan penduduk yang masih menetap di tanah airnya sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement