Kamis 21 Nov 2019 15:02 WIB

Ketika Konstitusi Lebanon Kesempitan

Baju konstitusi itu lebih sering terlalu sempit bagi Lebanon.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto:

Pada 2006, penduduk Lebanon diperkirakan berjumlah sekitar 3,8 juta jiwa. Sedangkan, mere ka yang hidup di luar negeri sekira 16 juta orang, atau lima kali lipat dibanding jumlah penduduk di tanah air. Perang saudara itu kemudian diselesaikan lewat Perjanjian Taif dengan memangkas beberapa kewenangan presiden (Maronit) juga dengan membagi sama jatah anggota parlemen antara kelompok Muslim dan Kristen.

Pasca-Perjanjian Taif, Lebanon relatif stabil, infrastruktur dibangun kembali, perekonomian berdenyut lagi, dan semakin banyak wisatawan yang datang. Namun, kondisi ini hanya berjalan beberapa tahun. Segera setelah itu, Lebanon kembali diterpa berbagai persoalan.

Pemerintah pun jatuh bangun. Negara ini pun kembali diguncang krisis berkepanjangan. Pokok persoalannya adalah pada konstitusi. Perjanjian Taif, yang kemudian dituangkan dalam konstitusi baru Lebanon, terbukti hanya solusi ad hoc, sementara, solusi tambal sulam, belum penyelesaian menyeluruh. Konstitusi baru yang semakin melanggengkan sektarianisme dalam kekuasaan ini ternyata tidak mampu menghadapi dinamika dan berbagai persoalan yang berkembang.

Pertama, pembagian kekuasaan berdasarkan sekte ini justru meminggirkan rakyat. Kekuasaan hanya beredar di kalangan elite keluarga-keluarga berpengaruh dalam kelompok-kelompok sektarian itu. Semisal keluarga Aun, Gemayel, Sulei man, Hwari, Lahoud, Frangieh, Khoury, Hariri, Berri, Jumblatt, Geagea, Nasrullah, dan seterusnya. Mereka bukan hanya mendominasi ke kuasaan politik, tapi juga sumber-sumber eko no mi negara. Akibatnya, korupsi pun merajalela dan sulit diberantas.

Kedua, perubahan demografi penduduk yang kini jumlah warga Muslim lebih besar dari Kris ten. Ketiga, munculnya kelompok baru Syiah, Hiz bullah, di Lebanon Selatan. Hizbullah, berdiri pa da 1982, bukan hanya organisasi sosial dan dak wah, melainkan juga politik dan bahkan para militer.

Eksistensi Hizbullah menemukan momen tumnya ketika tentara Lebanon tidak kuasa menghadapi beberapa agresi militer Israel (2006). Justru tentara Hizbullah yang berhasil memukul mundur mereka.

Hizbullah pun kini mempunyai hak veto dalam kabinet Lebanon. Keempat, geopolitik dan keamanan di Timur Tengah yang terus bergejolak, terutama di negara-negara yang berbatasan dengan Lebanon: Suriah di utara dan timur, Israel di selatan, dan Laut Tengah di barat.

Kelima, munculnya generasi baru milenial Lebanon. Jumlah mereka 50 hingga 60 persen dari seluruh penduduk. Mereka inilah yang harihari ini menjadi penggerak demonstrasi besarbesaran di seluruh Lebanon hampir sebulan ke belakang.

Mereka menolak keras kekuasaan sektarianisme. Mereka menuntut agar pejabat korup diadili, kekayaan negara yang dijarah pejabat dikembalikan, dan harta orang-orang kaya dipajaki.

Tuntutan lainnya: perbaikan layanan kebutuhan dasar sehari-hari. Dari air, listrik, pendidikan, kesehatan, hingga ketersediaan bahan pokok dengan harga murah.

Aksi unjuk rasa yang terbesar dan terlama dalam sejarah Lebanon itu kini telah berhasil memaksa PM Saad Hariri mengundurkan diri. Namun, demonstrasi rakyat semesta ini tampaknya belum akan berakhir. Presiden Michel Aoun terus mengadakan rapat-rapat maraton. Tarik-menarik kepentingan berlangsung alot.

Persoalan pokoknya adalah para pemimpin kelompok tidak mau kehilangan kekuasaan yang telah dipegang erat sejak puluhan tahun. Penyelesaian yang akan dibuat tampaknya belum menyentuh akar masalah. Hanya akan tambal sulam, seperti halnya Perjanjian Taif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement