Rabu 20 Nov 2019 17:04 WIB

Jaga Kondisi Iklim, Indonesia Komitmen Lakukan Ekonomi Hijau

Indonesia tidak bisa terus menggunakan energi tidak terbarukan.

Brown to Green 2019 di Jakarta, Selasa (19/11).
Foto: dokpri
Brown to Green 2019 di Jakarta, Selasa (19/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan Brown to Green 2019-Profil Indonesia diluncurkan di Jakarta, Selasa (19/11). Kegiatan tersebut menghadirkan dua keynote speaker yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, Luhut Binsar Panjaitan, serta Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Prof Emil Salim.

Luhut menjelaskan Indonesia berkomitmen untuk melakukan ekonomi hijau karena tidak ingin membuat kebijakan yang dapat mencederai anak cucu nanti. 

“Harus komprehensif dalam membuat kebijakan, tidak bisa terkotak-kotak berdasarkan isu. Salah satu strategi dalam mengembangkan investasi di Indonesia adalah adanya empat persyaratan yang harus dipenuhi oleh investor asing yaitu first-class technology, technology transfer, value-added, dan business-to-business cooperation," kata Luhut dalam siaran persnya, Rabu (20/11).

Sementara Prof Emil mengingatkan bahwa Indonesia harus segera berubah karena Indonesia tidak bisa terus menggunakan energi tidak terbarukan karena batu bara dan minyak bumi adalah energi yang kotor. 

“Kita perlu memikirkan generasi Indonesia di tahun 2045 yang dapat menikmati Indonesia yang bersih dan tidak kotor. Perencanaan kebijakan saat ini harus memandang jauh ke depan karena keadaan di masa depan akan sangat berbeda dari situasi saat ini. Sudah tidak ada lagi tempat untuk energi kotor di masa depan. Perekonomian harus selaras dengan energi terbarukan yang akan berkembang di masa depan," katanya.

Sebagai ukuran NDC yang lebih ambisius, Indonesia harus mulai beralih dari energi fosil di sektor energi dan transportasi. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengungkapkan pada sektor ketenagalistrikan kita harus mulai mengurangi pembangkit tenaga listrik batu bara dan menambah bauran energi dari energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2030. Selain itu memperkuat pelaksanaan efisiensi energi dengan cara meningkatkan standar performa minimum yang akan mengurangi permintaan listrik di masa depan. 

"Sedangkan di sektor transportasi kita membutuhkan percepatan elektrifikasi untuk kendaraan dan meningkatkan standar ekonomi bahan bakar yang lebih efektif sebelum 2025,” ujar Fabby.

Seluruh negara anggota G20 belum memiliki rencana untuk berada di jalur yang dapat membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius. Bahkan emisi karbon mereka terus meningkat, terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka, termasuk Indonesia, mampu secara teknis dan memiliki insentif ekonomi untuk melakukan itu. Agar tujuan 1,5 derajat Celsius dari Perjanjian Paris tetap dalam jangkauan, negara-negara G20 harus meningkatkan target emisi 2030 mereka pada tahun 2020 dan secara signifikan meningkatkan mitigasi, adaptasi, dan keuangan selama dekade berikutnya.

Temuan ini ada dalam 'Brown to Green Report 2019' yang diterbitkan secara global pada 12 November 2019 oleh Climate Transparency, sebuah inisiatif kemitraan global yang beranggotakan organisasi think tank dan Lembaga Non-Pemerintah dari negara-negara anggota G20. Laporan ini adalah tinjauan paling komprehensif dari kinerja iklim negara-negara anggota G20, memetakan pencapaian dan kelemahan dalam upaya mereka untuk mengurangi emisi, beradaptasi dengan dampak iklim dan menghijaukan sistem keuangan.

Manajer Program Green Economy, IESR, Erina Mursanti, menambahkan pada sektor kehutanan, potensi mitigasi yang lebih ambisius dapat dicapai melalui penerapan moratorium permanen bagi perizinan baru untuk hutan primer dan hutan sekunder termasuk pula hutan gambut serta memperkuat rehabilitasi hutan.

"Indonesia masih dapat meningkatkan komitmennya dalam pencapaian target Paris Agreement apabila ada political will dan komitmen pemerintah yang ambisius dalam pembatasan kenaikan suhu. Hal ini dapat ditunjukkan dengan strategi pembangunan jangka panjang yang menyelaraskan transisi perekonomian dengan transisi energi. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengalihkan subsidi bahan bakar fosil kepada pengembangan energi terbarukan dan menghentikan alokasi APBN untuk mendukung proyek-proyek pengembangan bahan bakar fosil," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement