Kamis 21 Nov 2019 05:43 WIB

Cerita Cadar dalam 3 Meme

Polemik cadar tertuang dalam tiga meme terkait fatwa tarjih Muhammadiyah.

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Cerita Cadar dalam 3 Meme
Cerita Cadar dalam 3 Meme

Dalam beberapa hari ini, ada 3 versi meme atau poster tentang cadar dalam fatwa Tarjih Muhamadiyah yang nyelonong masuk ke ponsel saya. Ada yang lewat japri (jaringan pribadi) yang sengaja dikirim ke saya, mungkin juga sekedar broadcast. Ada pula yang lewat grup-grup sosial media terutama WAG (Whatsapp group). Pengirimnya ada yang saya kenali dan mengenali saya secara pribadi, namun lebih banyak yang kemungkinan tidak kenal dengan saya.

Meme atau poster digital versi pertama yang sampai ke saya mengklaim merujuk pada buku Tanya Jawab Agama jilid 4 (TJA 4)  halaman 238-239, dengan pesan utama: tidak ada perintah dalam Alquran dan Sunnah untuk menggunakan cadar. Meme ini diproduksi Banjarmasin (PRM VI Al-Ummah dkk).

Beberapa tahun yang lalu (2016 atau 2017), meme ini sempat pernah mampir ke ponsel saya beberapa kali, namun akhir-akhir ini kembali berkunjung ke ponsel saya. Meme kedua mengklaim merujuk pada buku Tanya Jawab Agama jilid 4 halaman 238-239 yang (menurut pembuat meme) disempurnakan dalam fatwa tarjih 13-2003 (mungkin yang dimaksud fatwa tarjih yang dimuat majalah Suara Muhammadiyah nomor 13 tahun 2003) Aurat dan Jilbab, Tanya Jawab Agama (mungkin yang dimaksud  tanya jawab agama jilid 7, halaman 58-72).

Pesan utamanya adalah tidak ada perintah dalam Alquran dan Sunnah untuk memakai cadar. Tidak terlarang memakai cadar bahkan merupakan kehati-hatian yang terpuji.

Tampaknya meme ini ingin menonjolkan adanya “penyempurnaan” fatwa yang dimuat di TJA 4 dengan fatwa baru yang ada di TJA 7, terutama adanya klausul “merupakan kehati-hatian yang terpuji”. Meme produksi Brebes (PDPM Brebes dkk) ini untuk pertama kalinya bersilaturahim ke ponsel saya pada 14 November 2019.

Meme ketiga mengaku merujuk pada fatwa tarjih yang dimuat di Suara Muhammadiyah nomor 24 tahun 1993, Suara Muhammadiyah nomor 18 tahun 2003, dan Suara Muhammadiyah nomor 18 tahun 2009. Pesan utamanya adalah tidak ada perintah memakai cadar. Cadar tidak ada dasar hukumnya  baik dalam Alquran maupun Sunnah, para sahabiah (sahabat perempuan) banyak yang tidak memakai cadar. Tidak memakai cadar tidak termasuk inkarussunnah.

Tampaknya meme ini ingin menunjukan dalam fatwa yang paling baru tentang cadar (tahun 2009) itu, ada penjelasan bahwa pemakaian cadar tidak termasuk sunnah yang biasa dilakukan para sahabiah zaman Nabi. Maka meninggalkan cadar bukan pula tindakan inkarussunah. Meme produksi Yogyakarta (istagram Lensamu dkk) ini pertama kali berkunjung ke ponsel saya pada 16 November 2019.

Merujuk pada tahun-tahun dikeluarkannya fatwa yang dirujuk meme ini kesimpulan saya cuma satu kata. Aneh. Apalagi ketika menengok medsos, kemunculan ketiga meme itu diiringi “kehebohan” masing-masing.

Oplagh Suara Muhammadiyah tahun 1993 sekitar 16 ribu, di tahun 2003 sekitar 19 ribu, tahun 2009 sekitar 25 ribu, dan sekarang pasti lebih banyak lagi. Buku tanya jawab  Agama jilid 4 dan jilid 7 sudah naik cetak berulang kali, fatwa tahun 2009 juga sudah diupload di suaramuhammadiyah.id sejak tahun 2016. Dan tidak  ada kehebohan. Mengapa meme-meme itu memicu kehebohan?

Rasa aneh di hati saya ini berubah menjadi rasa sedih. Meme ketiga ini mencantumkan alamat web yang mencantumkan keberadaan fatwa itu. Meme ini menerima ratusan kritikan bahkan hujatan di WAG dan di sosial media yang lain (yang mendukung juga tidak kalah banyak), walakin ratusan treat diskusi tentang apa yang ada meme itu tidak dibarengi dengan tingkat kunjungan pembaca ke web yang bisa diakses secara gratis tersebut. http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/03/19/hukum-tentang-jenggot-dan-cadar

Kenyataan ini membuktikan kebanyakan dari kita hanya suka berdebat dan ngoceh tanpa mau membaca. Kesedihan saya semakin menjadi ketika di Twitter ada seorang yang mengaku ulama yang mempunyai banyak pengikut, ikut-ikutan mengkritik ketua umum PP Muhammadiyah (mengaku) didasarkan fatwa tarjih. Tetapi fatwa tarjih yang dijadikan landasan mengkritik itu tidak beliau baca terlebih dahulu, dia hanya merujuk pada tulisan yang menyebut adanya fatwa itu, yang kebetulan juga tulisan itu tampaknya salah kutip.

Padahal, alamat website fatwa tarjih yang dijadikan landasan untuk mengkritik ketua umum PP Muhammadiyah itu tersedia juga di tulisan itu. Sedangkan pendapat ketua umum PP Muhammadyah yang dikritik ulama itu justeru merujuk pada fatwa itu dan fatwa-fatwa lain yang terkait.

Sedihnya lagi, ocehan (twit) ulama yang “malas membaca” ini banyak dirujuk dan disebarkan ulang oleh banyak orang, termasuk ke grup Muhammadiyah. Saya sebut ulama ini sebagai ulama yang “malas membaca” karena beliau pernah mengkritik beberapa ketentuan yang bisa disebut sebagai pasal-pasal bermasalah di dalam draft  suatu UU tetapi semua yang dia sebut itu tidak ada dalam draft RUU itu. Padahal draft RUU sudah bertebaran di dunia maya. Dunia tempat beliau biasa ngoceh dan menyebarkan tausiahnya.

Mohon maaf, tulisan ini semula mau mengulas fatwa-fatwa yang dirujuk ketiga meme itu, tapi malah berbelok ke arah lain. Karena tulisan ini juga sudah terlalu panjang, tulisan yang mengulas tiga fatwa tersebut akan saya lanjutkan di lain waktu. Kalau saya paksakan untuk disambung di sini mungkin juga tidak akan dibaca. Terima kasih sudah mau membaca curhatan saya.

TENTANG PENULIS:

Isngadi Marwah Atmadja, Anggota Muhammadiyah, yang kadang memakai cadar saat menjemur padi

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement