Senin 18 Nov 2019 17:00 WIB

Pemerintahan Empat Desa Diduga Fiktif tak Berjalan Optimal

Aktivitas empat desa diduga fiktif tak berjalan normal.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Muhammad Hafil
Dana desa fiktif / ilustrasi
Foto: ist
Dana desa fiktif / ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengungkapkan, keberadaan empat desa di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara benar adanya, yang sebelumnya diduga sebagai desa fiktif. Akan tetapi, aktivitas pemerintahan desa di keempat desa itu tak berjalan baik.

"Desa ada, tetapi tidak berjalan tata kelola pemerintahannya secara optimal," ujar Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan dalam konferensi pers di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (18/11).

Baca Juga

Ia menuturkan, hal itu berdasarkan investigasi tim gabugan Kemendagri ke empat desa itu dari 15-18 November 2019. Empat desa tersebut yakni Desa Arombu Utama Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau Kecamatan Routa, dan Desa Napooha Kecamatan Latoma.

Tim menemukan bahwa keempat desa masih dalam proses pendalaman hukum lebih lanjut. Sebab, empat desa itu terdapat inkonsistensi data jumlah penduduk dan luas wilayah desa.

Nata mengatakan, anggaran dana desa untuk keempat desa yang berasal dari rekening kas umum negara (RKUN) ke rekening kas umum daerah (RKUD) sebesar Rp 9.327.907.054. Sementara dari jumlah tersebut, baru Rp 4.350.045.854 atau setara 47 persen yang telah disalurkan ke rekening kas desa.

Sehingga, dana desa untuk keempat desa masih tersisa di dalam RKUD sebesar Rp 4.977.861.200. Selain itu, kata Nata, sejak tahun 2014 sampai 2018, bantuan keuangan yang telah disalurkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) mencapai Rp 899.102.180.

Nata menjelaskan, aktivitas pemerintahan desa tidak berjalan dengan baik karena kepala desa dan perangkat desa tidak mendapatkan penghasilan yang sesuai dengan peraturan perundangan. Hal tersebut dipicu adanya kesenjangan antara kepala desa beserta perangkatnya atas penghasilan pendamping lokal desa yang notabene tidak banyak membantu dan tidak selalu hadir di lapangan.

Berdasarkan informasi perangkat desa yang ditemui tim Kemendagri, pembinaan secara menyeluruh terkait dengan tata kelola pemerintahan desa tidak dilaksanakan oleh kepala daerah baik gubernur maupun bupati. Sehingga, menurut Nata, terkait dugaan penyelewengan penggunaan dana desa harus diusut lebih lanjut oleh aparat penegak hukum

"Kalau memang penggunaan dana desa tersebut tidak sampai kepada masyarakat, inilah yang harusnya aparat pengawas internal pemerintah melakukan perbaikan dan mengambil langkah-langkah administrasi terlebih dahulu," jelas Nata.

Sementara itu, 56 desa di Kabupaten Konawe yang diduga desa fiktif termasuk empat desa di atas dipastikan ada berdasarkan hasil verifikasi kondisi riil di lapangan baik secara historis dan sosiologis. Namun Kemendagri mendapatkan data dan informasi bahwa penetapan Peraturan Daerah (Perda) terkait penetapan desa tersebut cacat hukum.

Perda yang dimaksud adalah Perda Nomor 7 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Konawe dan Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-Desa dalam Wilayah Kabupatan Konawe tidak melalui mekanisme dan tahapan di DPRD.

“Kami sepakat betul Perda yang dilakukan Bupati Konawe cacat hukum, karena tidak melalui mekanisme dari DPRD. Oleh karenanya harus kita perbaiki, benahi administrasinya,” tutur Nata.

Register Perda Nomor 7 tahun 2011 di Sekretariat DPRD Kabupaten Konawe tersebut adalah Perda Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010. Oleh karenanya, 56 Desa yang tercantum dalam Perda tersebut secara yuridis dikatakan cacat hukum.

Oleh karenanya diduga bermasalah dan berpotensi menimbulkan kerugian negara, maka 56 Desa tersebut baik kepala desa maupun perangkat desanya telah diminta keterangan dan didalami lebih lanjut oleh Polda Sulawesi Tenggara. Jika ditemukan tindakan melanggar hukum naka akan dilakukan proses hukum.

“Sesuai MoU antara Mendagri dan Kapolri, kalau menyangkut aspek hukum, maka akan dilakukan proses hukum. Kalau dalam waktu 60 hari telah ditangani APIP, seandainya ada cacat hukum dan administrasi maka sepenuhnya atas izin Mendagri, Aparat Penegak Hukum (APH) dapat mengambil langkah," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement