REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menilai pemerintah perlu benar-benar menciptakan kebijakan pangan yang murah dan terjangkau untuk mengatasi fenomena stunting di Tanah Air. Dia mengatakan stunting pada balita diakibatkan oleh berbagai sebab.
Tiga di antaranya adalah buruknya kondisi gizi dan kesehatan ibu sebelum, sedang dan setelah hamil. Selain itu juga rendahnya asupan makanan ke balita, terkhusus rendahnya kuantitas, kualitas dan variasi komponen gizi dan adanya infeksi.
Stunting adalah kondisi di mana balita mengalami kekurangan gizi yang menyebabkan rasio tinggi badan terhadap umur mereka jauh lebih rendah daripada angka rata-rata pada anak seumurnya. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi stunting tertinggi ke-4 di dunia berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2018.
Hasil penelitian CIPS menunjukkan, secara umum, kenaikan harga pangan berpengaruh secara signifikan terhadap menurunnya tingkat konsumsi. Kenaikan harga pangan sebesar Rp 1.000 akan berpotensi mengurangi konsumsi beras rumah tangga per kapita bulanan sebesar 0,67 kilogram.
Galuh juga menambahkan, rata-rata harga beras lokal dan internasional terpaut berbeda sebesar Rp 5.109,18. Jika harga beras lokal sama murahnya dengan harga beras internasional, maka tingkat konsumsi dapat berpotensi ditambahkan sebanyak 3,43 kilogram.
Selain itu, secara umum, penurunan tingkat konsumsi pangan berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan probabilitas suatu rumah tangga memiliki anak stunting. Penelitan CIPS memberikan contoh, misal dengan berkurangnya konsumsi daging sapi sebesar 1 kg akan meningkatkan probabilitas rumah tangga untuk memiliki anak stunting sebesar 1,52 persen.
Konsumsi daging sapi per kapita di Indonesia relatif rendah yaitu sebesar 2,39 kilogram. Sementara di Filipina sebesar 3,25 kilogram dan Malaysia yang sebesar 4,8 kilogram.
"Kalau konsumsi daging sapi di Indonesia dapat menyamai angka tersebut, maka hal itu dapat menurunkan probabilitas stunting sebesar 0,41 persen dan 0,6 persen secara berurutan," jelas Galuh.
Ia menilai bahwa sebagian kebijakan pangan yang diterapkan pemerintah saat ini terdapat unsur pembatasan atau restriksi melalui regulasi yang dinilai membatasi keterlibatan Indonesia dalam perdagangan internasional. Kebijakan-kebijakan ini cenderung menyebabkan kenaikan harga pada komoditas pangan.