REPUBLIKA.CO.ID, Aksi unjuk rasa di Jakarta yang bermula pada 24 September 2019 lalu tak sedikit memakan korban. Beberapa di antaranya tak kembali ke keluarga mereka dalam keadaan hidup. Wartawan Republika, Ali Yusuf, menelusuri kisah sepasang sahabat yang terjebak dalam kekisruhan tersebut pada pertengahan Oktober lalu. Berikut tulisan bagian ketiga.
Maulana Suryadi (24 tahun) sudah rapi dengan sweter berwarna hitamnya. Dengan aksesori kesayangan adiknya, ia tak indahkan permohonan Maspupah, ibundanya, untuk tak ke mana-mana malam itu. Pada Rabu, 25 September itu, Ibu Kota membara.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan para mahasiswa pada Selasa, 24 September, dilanjutkan siswa-siswa STM pada keesokan harinya. Pada dua hari tersebut, aksi berjalan hingga malam hari. Bukannya mereda, makin malam justru aksi kian menjadi-jadi dan bentrokan antara polisi dan massa pendemo terjadi di mana-mana.
Sebelum berangkat, Yadi, sapaan akrab Suryadi, menyambangi karibnya, Rivaldo Dwika Dhuha (14) alias Aldo, yang sudah lebih dulu berada di Pos Saung Keamanan RT 03/03 Kampung Baru, Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Senada dengan Maspupah, Dewi Susanti, ibunda Aldo, juga mengaku sudah melarang anaknya pergi jauh-jauh. “Karena besok mau jemput adikmu, ya,” kata Dewi mengingat pesannya kepada Aldo saat ditemui Republika pertengahan bulan lalu. Aldo mengiyakan saja, tetapi tak menuruti perintah orang tuanya tersebut.
Bercengkerama sebentar di pos keamanan tersebut, Yadi dan Aldo kemudian berboncengan menggunakan sepeda motor matik ke warung internet (warnet) di sekitar Kampung Baru hingga pukul 22.30 WIB. “Setelah itu, nongkrong di Pasar Impres, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat,” kata Aldo.
Aldo mengaku tak ingat lagi sampai jam berapa dia nongkrong di Pasar Impres itu. Namun, dia masih mengingat, malam itu dia menerima video call dari ayahnya, Yusril Anwar, yang mengulangi pesan Dewi agar Aldo jangan pergi jauh-jauh. “Ayah bilang ‘jangan pergi jauh-jauh Do, banyak demo’. Saya jawab iya,” kata Aldo.
Namun, tidak lama setelah itu, Aldo diajak Yadi ke Kota Bambu Utara, Jakarta Barat, untuk menemui seorang rekan mereka. Namun, yang dituju malam itu tidak ada dan keduanya singgah di warnet, masih sekitaran daerah Kota Bambu, sampai pukul 02.00 WIB, Kamis (26/9).
Selesai main warnet di sekitar Kota Bambu, keduanya bergegas pulang via jalur Slipi Raya. Aldo mengenang janji pada ibundanya. Begitu pun Yadi harus pulang karena keesokannya bertugas menjaga parkiran di Tanah Abang.
Namun, di bawah jembatan layang Slipi Raya keduanya berhenti sejenak, melihat suasana unjuk rasa yang masih berlangsung ramai. Polisi bertameng tampak berhadap-hadapan dengan massa demonstran meski belum ada gas air mata ditembakkan.
Aldo mengakui, saat itu mereka berdua terbawa suasana. Aldo mengaku, Yadilah yang mengajak dia turun ke bawah, bergabung dengan orang-orang yang berdemonstrasi. Namun, dia menolak. “Enggak ah. Entar gue ketangkap lagi,” kata Aldo menolak ajakan karibnya itu.
Mereka masih tak paham yang disuarakan para pengunjuk rasa saat itu. Seruan-seruan dari pengeras suara kepolisian juga hanya samar-samar saja terdengar. Tak berapa lama, Aldo mengatakan, seorang pria paruh baya dengan ciri khas tahi lalat di dahi menghampiri. Pria itu mengajak Yadi dan Aldo turun ke bawah bergabung dengan para demonstran.
“Ayo Bang, ke bawah Bang,” kata pria paruh baya itu mengajak. Kali ini, entah apa yang terlintas di benak Aldo dan Yadi, keduanya justru mengamini. Setelah memarkirkan kendaraan sepeda motornya di gedung perkantoran Wisma 77, mereka berdua berjalan ke sekitar Hotel Peninsula, mencari benda-benda yang bisa dilemparkan ke aparat. “Di situ nyari batu yang sudah berserakan di jalanan. Pas itu kita timpukin dua batu,” ujar Aldo.
Selesai melempar aparat, keduanya mundur untuk mecari batu lagi. Setelah menemukan beberapa, keduanya kembali ke Wisma 77. Motor kembali mereka nyalakan dan batu-batu mereka angkut ke atas fly over.
Di atas fly over, Yadi dan Aldo kembali melemparkan batu ke arah aparat. Selesai melemparkan batu, keduanya kembali menonton dengan santai massa dan aparat yang kian seru saling berhadapan-hadapan.
Saat berencana pulang dan bergerak ke arah Kemanggisan, tiba-tiba sejumlah anggota Brimob bermunculan dengan formasi mengepung. Saat sepeda motornya dinyalakan, baju Aldo seketika ada yang menarik dari belakang. Di bagian depan motor, juga sudah bersiap sejumlah anggota Brimob mencegat.
Kunci motor langsung diambil aparat dan Aldo dengan kondisi dipiting digelandang masuk ke dalam mobil bus warna gelap bertulisan “POLISI”. Begitu gesitnya aparat menariknya masuk ke dalam mobil, sandal jepit yang digunakan Aldo terlepas dan kulit jempol kaki Aldo terkelupas menggerus aspal saat ditarik masuk ke dalam mobil.
Aldo melihat Yadi sudah masuk lebih awal ke dalam bus. Ia melihat polisi mendorong Yadi masuk ke dalam bus. Beberapa kali, pentungan keras di tangan aparat mendarat di kepala Yadi. Tak lama kemudian, giliran Aldo. Benda hitam keras itu mendarat satu kali di kepala dan satu kali di pundak kanannya.
Di dalam bus, sudah banyak orang berjejalan. Orang-orang yang dimasukkan lebih awal saling tumpang-tindih dalam posisi tiarap di sela-sela kursi bus yang dibiarkan kosong tak diduduki. Aldo tak ingat, ia ada di tumpukan ke berapa.
Namun, ia juga merasa ada beban berat di punggungnya. Di antara tumpukan itu, Aldo sempat mendengar orang berteriak minta tolong dan mengerang kesakitan.
Bus yang membawa tumpukan orang itu melaju perlahan. Saat kendaraan melaju, Aldo sempat mendengar beberapa kali teriakan minta tolong. “Pak, tolong Pak ada yang meninggal.” Setelah itu, Aldo mengaku tak ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya. Tak tahan menahan pengap karena kurang udara dan sakit di kepala serta pundak, Aldo tak sadarkan diri. n ed: fitriyan zamzami