REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) meyakini pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung masih cocok diimplementasikan di Indonesia. Pilkada langsung pada pemilihan 2004 lalu dipilih sebagai solusi mengatasi maraknya praktik korupsi dan jual beli suara saat pemilihan dilakukan oleh DPRD atau pilkada tak langsung.
"Kami meyakini pilkada langsung masih jadi pilihan yang cocok untuk Indonesia," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Republika, Ahad (10/11).
Menurut dia, perubahan sistem pilkada tidak lantas menjawab persoalan yang dikeluhkan dalam pilkada langsung. Diantaranya pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menyebutkan pilkada langsung membutuhkan biaya politik yang tinggi sehingga memicu tindak pidana korupsi.
Titi mengatakan, selama permasalahannya tidak dibenahi seperti kerangka hukum, aturan main, dan manajemen, serta penegakkan hukum masih lemah, maka pilkada tidak langsung pun akan tetap melahirkan permasalahan yang dikeluhkan selama ini. Untuk menciptakan pilkada yang baik justru memerlukan komitmen partai politik melakukan pembenahan.
"Yang diperlukan itu itikad baik untuk membenahi partai politik, karena kuncinya ada di partai politik," kata Titi.
Sebab, lanjut dia, pendidikan politik yang tidak optimal, kaderisasi yang belum melembaga, dan pendanaan yang dikendalikan segelintir orang masih menjadi persoalan partai politik. Pendanaan yang dikendalikan segelintir orang itulah diyakini Perludem turut berkontribusi dalam membentuk perilaku kompetisi yang transaksional.
"Politik uang bukan berasal dari keinginan pemilih, perilaku elit yang tidak terkendali dan penegakan hukum yang lemah dan tebang pilihlah yang berkontribusi pada merajalelanya politik uang," jelas Titi.
Sehingga, menurut dia, rencana pilkada asimetris atau sistem pilkada yang berbeda di setiap daerah perlu dikaji lebih mendalam. Pemerintah seharusnya mengevaluasi secara komprehensif bukan parsial terhadap pelaksanaan pilkada langsung selama ini.
Sementara itu, Komisioner KPU RI Viryan Azis mengakui masalah dalam pilkada langsung memang ada. Akan tetapi, tak lantas begitu saja mengembalikan pilkada ke sistem tak langsung, melainkan melakukan penyempurnaan pelaksanaan pilkada langsung itu sendiri.
"Masalah krusial utama pilkada serentak pada pengaturan politik biaya tinggi (dana kampanye)," kata Viryan.
Ia mengamini agar dilakukannya evaluasi pilkada. Evaluasi pilkada itu hanya sebatas penyempurnaan penyelenggaraan pilkada dengan membenahi regulasinya dan tata laksananya.
Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan mengatakan, evaluasi pilkada itu misalnya dari sisi biaya memungkinkan untuk melakukan efisiensi dan sisi tata laksana dapat disederhanakan. Kemudian penegakan hukum bagi pelaku politik uang, politisasi sara, dan penyebar hoaks atau kabar bohong.
"Tentu KPU akan terlibat aktif dalam kegiatan evaluasi pilkada. KPU juga akan memberikan sumbang pemikiran dan bentuk rekomendasi kebijakan," tutur dia.
Di sisi lain, Pakar Otonomi Daerah Indonesia Prof Djohermansyah Djohan justru menyarankan pilkada asimetris diterapkan di Indonesia. Akan tetapi, untuk sistem pilkada tak langsung atau pemilihan oleh DPRD, pemerintah harus siap mengawasi secara tegas.
"DPRD yang melakukan pemilihan tidak langsung itu harus betul-betul dikawal oleh publik oleh masyarakat dan oleh penegak hukum seperti KPK juga mengontrol," jelas Djo.
Ia melanjutkan, pengawasan dilakukan sebagai upaya mencegah jual beli suara di DPRD untuk kandidat calon kepala daerah. Sehingga sistem pengawasan dalam pilkada oleh DPRD melibatkan penegak hukum serta pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat harus ke bawah untuk menjaga dan mengontrol supaya DPRD tak meminta uang kepada calon kepala daerag. Pemerintah juga harus memastikan regulasi agar partai politik terbuka dalam mengusung calon dengan melibatkan masyarakat.
Djo mengatakan, perlu perbaikan dalam Undang-Undang tentang partai politik sehingga partai harus melibatkan publik saat mengusung calon kepala daerah. Jadi usulan calon jangan dilakukan diam-diam dan hanya persetujuan ketua umum partai melainkan harus melewati uji publik secara transparan.
"Ada uji publik namanya jadi sebelum ditetapkan calonnya partai politik diwajibkan melakukan uji publik terhadap kandidatnya. Suruh dia di suatu acara untuk diuji publik oleh moderator di kampus dan dimuat oleh koran oleh media," jelas Djo.