Sabtu 09 Nov 2019 08:45 WIB

Menyelamatkan Tuntong, Satwa Langka Asal Aceh Tamiang

Tuntong adalah salah satu satwa yang keberadaannya sudah sulit sekali ditemukan.

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Indira Rezkisari
Anak Tuntong laut (Batagur borneoensis) berada di Hilir Sungai Tamiang usai dilepas liarkan oleh Pegiat lingkungan dari Yayasan Satucita Lestari Indonesia di area Desa Pusung Kapal, Seruway, Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (6/11/2019).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Anak Tuntong laut (Batagur borneoensis) berada di Hilir Sungai Tamiang usai dilepas liarkan oleh Pegiat lingkungan dari Yayasan Satucita Lestari Indonesia di area Desa Pusung Kapal, Seruway, Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (6/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, ACEH TAMIANG -- Sunyi sepi, dengan hembusan angin sepoi-sepoi membuat tumbuh-tumbuhan bak menyambut langit biru yang diiringi awan putih berarak. Hijau pepohonan menyegarkan mata dan suasana.

Aliran air sungai terlihat tenang saat berbaur dengan air laut. Bahkan tampak buayaberjemur di hamparan pasir putih pantai di Ujung Aceh Tamiang.

Baca Juga

Ada satu satwa lain yang ikut menikmati suasana alam di kawasan yang masuk dalam wilayah Kampung Pusung Kapal, Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. Satwa tersebut bernama Tuntong.

Satwa yang masih famili Kura-Kura ini memiliki nama beken Batagur Borneoensis yang muncul dari Sungai Tamiang untuk bertelur di sepanjang Oktober hingga Februari. "Tuntong adalah salah satu satwa yang keberadaannya sudah sulit sekali ditemukan, terutama di Indonesia. Dan, saat ini habitatnya cuma ada di Kampung Pusung Kapal," ujar Pendiri dan Peneliti Yayasan Satu Cita Lestari Indonesia (YSCLI), Joko Guntoro saat ditemui sedang melakukan pelepasan anak-anak Tuntong atau Tukik di ekowisata Pantai Ujung Aceh Tamiang, Kamis (7/11).

Sejak 2011, YSCLI melakukan pelestarian Tuntong di pesisir pantai Kabupaten Aceh Tamiang yakni Pantai Pusung Putus, Pantai Pusung Cium dan Pantai Pusung Ujung Tamiang. Beberapa langkah pelestarian yang dilakukan meliputi pengamatan, penyelamatan serta penangkaran.

"Penyebab kepunahan, salah satunya karena ulah manusia. Tuntong sering kali diburu oleh Suku Tamiang yang merupakan salah satu penduduk asli Kabupaten Aceh Tamiang. Telur-telur Tuntong untuk dikonsumsi karena merupakan salah satu bahan utama hidangan tradisional masyarakat Aceh Tamiang yang dinamakan Tengulik. Sementara Tuntong kecil atau dewasa sering dijadikan hewan peliharaan dan ada juga yang dijual ke kolektor satwa langka hingga mencapai Rp 10 juta," ungkap Joko.

Menurut Joko, Tuntong menempati urutan ke-25 dari daftar spesies Kura-Kura yang terancam punah. Data tersebut adalah hasil riset yang dilakukan oleh International Union for Conservation of Nature, yang merupakan lembaga rujukan untuk tingkat keterancaman flora dan fauna di dunia.

"Proses pertumbuhan Tuntong dari telur hingga dewasa memakan waktu yang cukup lama. Dibutuhkan waktu delapan tahun bagi seekor Tuntong untuk menginjak usia dewasa dan siap bereproduksi. Setiap kali bertelur, Tuntong dapat menghasilkan 12 hingga 24 telur. Selain itu, telur-telur tersebut membutuhkan suhu stabil dengan kisaran 26 hingga 32 derajat celcius agar dapat benar-benar menetas," jelasnya.

Prihatin dengan masa depan Tuntong yang angka populasi terus menurun, membuat PT Pertamina EP Field Rantau Aceh terpanggil untuk ikut mencegahnya dari kepunahan. Bekerjasama dengan YSCLI, melakukan pelestarian Tuntong dengan membuat fasilitas penangkaran dan pengembangbiakan Tuntong, sosialisasi konservasi spesies kepada masyarakat dan juga siswa sekolah, melakukan patroli penyelamatan Tuntong beserta telurnya pada musim bertelur, melakukan survei habitat, pengayaan habitat, pemeliharaan telur Tuntong, hingga pelepasan Tukik ke habitat aslinya.

"Sejak 2013 hingga 2019 kami bersama YSCLI telah melepaskan sebanyak 2.220 anak Tuntong atau Tukik. Ini sebagai salah satu upaya pelestarian satwa langka tersebut yang merupakan salah satu program Ekowisata Ujung Tamiang," terang Rantau Field Manager PT Pertamina EP, Totok Parafianto.

Program Ekowisata Ujung Tamiang yang juga didukung Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh merupakan program pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat tanpa merusak kelestarian lingkungan.

"Berawal dari isu pelestarian satwa Tuntong, program ini kemudian berkembang kepada pengembangan kapasitas masyarakat dengan membentuk Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Kampung Pusung Kapal, Aceh Tamiang," tutur Totok.

Dia menambahkan, kegiatan konservasi satwa langka Tuntong sudah dimulai sejak 2011 dan pada 2017 Pertamina EP mulai mengembangkan program tersebut. "Pendirian fasilitas sarana dan prasarana seperti Rumah Informasi Tuntong (RIT) dilakukan sebagai salah satu media bagi masyarakat untuk mengetahui mengenai satwa Tuntong," terang Totok.

Menurut Totok, saat survei awal dilakukan kepada anak-anak sekolah di wilayah Aceh Tamiang lebih dari 80 persen siswa mengatakan tidak tahu tentang spesies Tuntong. Hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi namun juga karena kebiasaan masyarakat di masa yang lalu dengan budaya ‘betuntong’ untuk mencari telur Tuntong menjadi panganan khas.

"Sejak program ini diluncurkan berkat kerjasama yang baik dengan empat pihak, sudah ada peraturan daerah (Qanun) yang mengatur tentang porsi pemanfaatan telur Tuntong dan substitusi penggunaan telur ayam sebagai bahan bakunya. Program ini juga menjadi ‘endorser’ terkait perlindungan satwa melalui Permen LHK No. P.20/MENLHK/Setjen/kum.1/6/2018," jelas Totok.

Dia mengungkapkan bahwa dampak yang diharapkan tidak hanya dari sisi lingkungan saja, tetapi juga yang menghadirkan keuntungan bagi masyarakat.

"Program pemberdayaan Ekowisata Ujung Tamiang dibentuk guna menciptakan alternatif lapangan kerja baru yang ramah lingkungan sehingga masyarakat pesisir tidak bergantung lagi pada mata pencaharian mereka yang dapat merusak lingkungan seperti menebang kayu mangrove untuk dijadikan arang dan mengambil telur satwa langka Tuntong untuk diperjualbelikan," tutur Totok.

Dia berharap, penekananan pada konsep ekowisata dapat menjaga keseimbangan ekosistem namun masih mampu memberikan dampak kepada masyarakat melalui peningkatan ekonomi. Masyarakat melalui POKDARWIS diarahkan untuk menciptakan atraksi wisata yang dapat menarik pengunjung untuk datang.

"Guna mendukung kegiatan ekowisata, seluruh potensi lokal seperti hasil tangkapan laut yang ada di wilayah Kampung Pusung Kapal diharapkan dapat diolah untuk dijadikan oleh-oleh khas daerah tersebut, seperti blacan dan terasi," harap Totok.

Pelestarian Tuntong bukan merupakan pekerjaan rumah yang mudah, pendampingan intensif dilakukan sejak program berjalan hingga kini. "Salah satu potensi permasalahan yang dijumpai adalah banyaknya limbah kayu apung (driftwood) yang berasal dari aliran sungai dan laut di pinggiran pantai sehingga menghambat Tuntong untuk bertelur saat musim telur tiba. Permasalahan ini kemudian dilihat sebagai peluang untuk menjadikan sampah kayu apung tersebut menjadi bahan kerajinan atau souvenir khas dari lokasi Kampung Pusung Kapal," pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement