Jumat 08 Nov 2019 08:13 WIB

12 Kasus HAM Berat Belum Selesai

Komnas HAM kritik kejaksaan karena tak lanjutkan hasil penyelidikan kasus HAM berat.

Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) mengklaim baru menyelesaikan tiga dari 15 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang ditangani. Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut, tiga kasus tersebut adalah Kasus Timor Timur pada 1999, Tanjung Priok pada 1984, dan Kasus Abepura tahun 2000.

"Terdapat 12 perkara HAM yang belum diselesaikan, yaitu sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000," kata Burhanuddin dalam rapat bersama Komisi III DPR, Kamis (7/11).

Baca Juga

Kasus yang belum terselesaikan itu meliputi peristiwa 1965; penembakan misterius (petrus); peristiwa Trisaksi; Semanggi I dan Semanggi II; penculikan dan penghilangan orang secara paksa; peristiwa Talangsari; peristiwa Simpang KKA; peristiwa Rumah Gedong tahun 1989; serta peristiwa dukun santet, ninja, dan orang gila Banyuwangi tahun 1998.

Pelanggaran HAM berikutnya muncul setelah UU Nomor 26 Tahun 2000, yakni peristiwa Wasior, peristiwa Wamena, peristiwa Jambu Kepuk, dan peristiwa Paniai pada 2014. Burhanuddin mengklaim Kejaksaan Agung sudah melakukan pendalaman berkas 12 perkara yang diperoleh dari penyelidikan Komisi Nasional (Komnas) HAM.

"Tahap penanganan perkara HAM yang telah dilakukan 12 perkara hasil penyelidikan Komnas HAM telah dipelajari dan diteliti. Hasilnya, baik persyaratan formil (maupun) materiel belum memenuhi secara lengkap," kata Burhanuddin.

Burhanuddin juga menjelaskan status sejumlah kasus tak terselesaikan itu. Misalnya, untuk peristiwa 1965, Semanggi I, dan Semanggi II, menurut Burhanuddin, hasil rapat paripurna DPR menyatakan peristiwa-peristiwa tersebut bukan pelanggaran HAM berat. Sementara itu, perkara Paniai pada 2014 masih berupa surat perintah dimulainya penyelidikan (SPDP) yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti.

"Sehingga, tidak sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat 1 ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM," ujar Burhanuddin.

Burhanuddin mengklaim, dalam proses penanganan kasus HAM berat, Kejakgung telah melakukan koordinasi intensif dengan dilaksanakannya bedah kasus pada 15-19 Februari 2016 di Hotel Novotel, Bogor. Dalam bedah itu, enam berkas penyidikan peristiwa pelanggaran HAM berat dinyatakan memiliki kekurangan. Keenamnya adalah peristiwa Trisakti, kerusuhan Mei, peristiwa penghilangan orang secara paksa, Talangsari, penembakan misterius, dan peristiwa 1965.

"Berdasarkan hasil penenelitian bersama diperoleh hasil bahwa terdapat enam berkas penyelidikan terdapat kekurangan formil maupun materiel untuk ditingkatkan pada tahap penyidikan," ujar dia.

Meski begitu, dari delapan fokus kerja kejaksaan hingga 2024, Burhanuddin tidak memasukkan soal penyelesaian pelanggaran HAM berat tersebut. Delapan fokus kerja tersebut adalah memberikan solusi perbaikan sistem agar kasus pidana tidak terulang lagi; menyisir peraturan daerah yang menghambat investasi; dan pengamanan aset-aset yang terbengkalai, tidak terurus, atau dikuasai pihak lain.

Lalu pemanfaatan informasi dan teknologi (IT); menciptakan mekanisme pengawasan yang ketat; meningkatkan sistem pelayanan hukum; mengoptimalkan kinerja dan inovasi yang sudah diterapkan; dan memasukkan peran masyarakat untuk mengikuti seleksi pegawai kejaksaan.

photo
Korban Talangsari ke Komnas HAM. Perwakilan Korban Talangsari mendatangi Komnas HAM di Jakarta, Senin (4/3/2019).

Dikritik

Menanggapi laporan tersebut, Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam menilai Jaksa Agung belum memahami dengan baik mengenai aturan hukum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000. Dalam UU tersebut, kata dia, terdapat hal-hal yang menjadi kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik dan kewenangan jaksa agung sebagai penyidik dalam proses hukum kasus pelanggaran HAM berat.

"Seharusnya sebagai penyidik, jaksa agung bisa berbuat banyak, tidak hanya menyempurnakan berkas perkara, bahkan mempunyai kewenangan untuk menahan terduga pelaku,” kata Choirul.

Pernyataan Burhanuddin tersebut juga dinilai menunjukkan komitmen rendah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. Pasalnya, kata Choirul, Presiden Jokowi punya kesempatan menunjuk jaksa agung yang lebih paham dan ingin melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat.

Choirul menuding sampai saat ini Jaksa Agung belum pernah melakukan tugas dan kewenangannya untuk menyempurnakan berkas perkara pelanggaran HAM berat yang disodorkan Komnas HAM. “Kondisi ini seperti lagu lama, diputar berulang kali, hanya mengganti penyanyinya saja,” kata dia.

Choirul menyarankan Jaksa Agung membuat tim penyidik independen dan melibatkan tokoh HAM yang mengerti aturan dan praktik HAM, baik nasional maupun internasional. Menurut dia, hal itu dibolehkan oleh UU Nomor 26 Tahun 2000. “Pentingnya membentuk tim penyidik independen dengan melibatkan tokoh HAM agar tingkat kepercayaan publik terbangun dan kerja tim tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” kata dia. n arif satrio nugroho/haura hafizhahed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement