REPUBLIKA.CO.ID, Sekilas, para siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sukamelang III, Desa Sukamelang, Kecamatan Kroya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tampak riang bercanda di dalam kelas saat masuk jam istirahat, Rabu (6/11). Namun, di balik keceriaan itu, tersembunyi rasa takut terhadap keselamatan diri mereka.
Kondisi ruang kelas mereka yang rusak menjadi alasannya. Saat Republika mengunjungi kelas tersebut, kerusakan ruang kelas itu terutama terlihat pada bagian atap. Plafon ruang kelas sebagian besar sudah berlubang hingga hanya menyisakan rangka yang terbuat dari kayu.
Lubang-lubang pada plafon itu tidak terjadi dalam satu waktu, melainkan secara bertahap. Pecahan plafon pun kerap berjatuhan ke bawah, saat siswa dan guru sedang melakukan aktivitas belajar mengajar di dalam kelas. "Takut kejatuhan," ujar Sila, seorang siswa kelas III.
Hal senada diungkapkan seorang siswa lainnya bernama Dani. Dia pun kerap merasa takut karena plafon bisa berjatuhan kapanpun dan berisiko menimpa siapa saja yang ada di bawahnya.
Tak hanya dirasakan siswa, ketakutan juga dialami guru yang mengajar. Meski belakangan sudah terbiasa dengan kondisi itu, kekhawatiran akan keselamatan anak didik kerap menghantui mereka. "Rasa takut sih ada karena (plafon) sering jatuh saat sedang aktivitas belajar mengajar di kelas. Alhamdulillah, selama ini tidak pernah menimpa siswa," kata Darnisem, guru di sekolah tersebut.
Kekhawatiran Darnisem makin bertambah karena sebentar lagi akan datang musim hujan. Dia takut, hujan yang disertai angin akan menimbulkan peristiwa yang tidak diinginkan.
Ketiadaan plafon itu pun membuat ruang kelas langsung beratapkan asbes. Karena itu, selain bisa mengancam keselamatan siswa dan guru, kondisi itu juga membuat suasana belajar di dalam kelas menjadi tak nyaman.
Siswa dan guru kerap mengalami kegerahan, terutama di musim kemarau yang panjang seperti sekarang. Selain pada plafon, kerusakan ruang kelas juga terlihat pada bagian dinding yang retak di sejumlah titik. Begitu pula dengan jendela kaca yang pecah di beberapa bagian.
Ada tiga ruang kelas di sekolah itu yang mengalami kondisi serupa. Selain ruang kelas III, kondisi serupa juga terjadi di ruang IV-1 dan IV-4. Ruang kelas I itu ditempati secara bergantian dengan siswa kelas II.
Darnisem mengatakan, sekolah tempatnya mengajar itu sudah didata untuk dilakukan perbaikan pada tahun ini. Dia berharap perbaikan itu segera terealisasi.
Buat banyak siswa sekolah di Indonesia, bukan sekadar materi belajar yang menjadi pikiran para murid. Bukan hanya pelajaran-pelajaran sulit yang menimbulkan ketakutan, tapi juga hal yang lebih mendesak, yakni keselamatan jiwa mereka saat belajar.
Selain sekolah negeri, kerusakan-kerusakan itu juga dialami sekolah swasta. Dan, bukan hanya sekolah umum di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kerusakan tersebut juga dialami madrasah-madrasah di berbagai jenjang.
Salah satunya adalah bangunan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kalisidi 02 yang berada di wilayah Dusun Mrunten Kulon, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Sejak dibangun kali pertama pada 1959, salah satu fasilitas belajar bagi warga Desa Kalisidi tersebut memang telah dilakukan rehab dan beberapa perbaikan untuk memperkuat struktur dan konstruksi bangunan.
Namun, karena keterbatasan anggaran, upaya tersebut hanya mampu dilaksanakan secara parsial, hanya tambal sulam pada bagian bangunan yang mengalami kerusakan. “Terakhir, rehab gedung MI ini dilakukan tahun 2009 atau 10 tahun silam, itupun tidak menyentuh semua bangunan ruang kelas,” ungkap Kepala MI kalisidi 02, Luqmanul Khakim, Kamis (7/11).
Saat ini, kata dia, dari enam ruang kelas yang ada, hanya satu ruang kelas yang dianggap cukup ideal untuk proses KBM yang dibangun pada 2009 dengan ukuran 5x7 meter persegi. Ruang lainnya masih menggunakan konstruksi lama dengan luas bidang hanya 5x5 meter persegi dan sudah kurang ideal sebagai tempat untuk proses KBM.
Siswa Sekolah SLB (Sekolah Luar Biasa) Tipe C Bundaku mengamati ruang kelas yang rusak di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (15/10/2019).
Selain beberapa bagian tembok sudah banyak yang retak dan kayu kusen pintu maupun jendela yang rapuh, atap bangunan MI ini juga sudah tampak menggelombang akibat konstruksi atap sudah lapuk dimakan usia. Selain itu, beberapa plafon eternit beberapa ruangan kelas juga sudah tampak jebol dan berlubang di beberapa tempat akibat tertimpa genting yang jatuh dan pengaruh konstruksi atap yang mulai berubah.
“Melihat, peristiwa ambrolnya atap bangunan sekolah di Pasuruan hingga menimbulkan korban jiwa, sebenarnya kami juga sangat mengkhawatirkan kondisi bangunan MI Kalisidi 02 ini,” kata yang ditemui di sela aktivitasnya.
Ia juga mengungkapkan, upaya untuk meminta bantuan untuk melakukan rehab bangunan gedung MI ini sudah kerap diupayakan. Namun, MI Kalisidi 02 ini selalu terganjal klasifikasi bangunan pendidikan swasta. Menurutnya, program-program bantuan dari pemerintah yang menyentuh lembaga pendidikan swasta masih sangat minim.
Untuk memanfaatkan fasilitas Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga tidak memungkinkan karena jumlah murid yang terbatas. Sementara untuk mengandalkan dukungan pembangunan dari masyarakat sekitar, mayoritas merupakan warga yang hanya berprofesi sebagai petani. “Makanya, setelah 10 tahun yang lalu, sampai saat ini belum ada perbaikan lagi,” ujarnya.
Salah seorang murid kelas VI MI Kalisidi 02, Fatimah Azhara, mengaku waswas dengan kondisi atap ruang kelasnya, terutama saat hujan deras yang disertai angin kencang. “Takut, kalau-kalau atap roboh di tengah kegiatan belajar,” kata dia.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh murid kelas IV lainnya, Faiq Afrizal Farhan. Faiq khawatir kondisi atap ruang kelas yang sudah bergelombang tersebut tiba-tiba runtuh. Apalagi, sebentar lagi sudah masuk musim hujan. n lilis sri handayani, bowo pribadi, ed: fitriyan zamzami