Kamis 07 Nov 2019 15:48 WIB

Pakar: Indonesia tak Cocok Seragamkan Pilkada Langsung

Penyeragaman pilkada langsung tak cocok karena luasnya karakteristik wilayah RI.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Teguh Firmansyah
Pilkada (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Otonomi Daerah Indonesia Prof Djohermansyah Djohan mengatakan, pemerintah perlu memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sekarang berlaku pemilihan langsung. Berdasarkan kajian tim Institut Otonomi Daerah pada 2018, Indonesia tak cocok melaksanakan sistem pilkada langsung secara serentak.

"Dari studi yang saya lakukan itu untuk Indonesia ini tidak cocok diseragamkan, itu tidak cocok semuanya langsung itu tidak cocok," ujar  Djohermansyah saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (7/11).

Baca Juga

Ia menjelaskan, pemilihan serentak tidak cocok karena karakteristik wilayah Indonesia yang sangat luas dengan banyak pulau-pulau serta jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa. Ditambah pula dengan karakterisik pemilih atau masyarakat Indonesia yang masih berpendidikan rendah dan berpenghasilan kurang secara nasional.

Menurut Djohermansyah, seharusnya pilkada di Indonesia mengadopsi cara pemilihan yang tidak seragam. Artinya, pilkada membuka opsi sistem pemilihan langsung dan tidak langsung yang sama-sama demokratis dengan memperhatikan karakteristik wilayah dan pemilih di masing-masing daerah di Indonesia.

"Jadi jangan kita seragamkan semua. Jadi di daerah yang sudah maju itu misalnya, kota-kota itu kan pendidikan cukup baik kemudian pendapatan masyarakat cukup tinggi, kesadaran politik rakyat cukup baik, melek politik karena akses informasinya juga banyak terbuka, nah itu monggo dijalankan pemilihan secara langsung," jelas dia.

Sektor pendidikan dan pendapatan warga dianggap menjadi faktor yang menentukan keberhasilan suatu pemilihan. Ia berkaca pada pengalaman negara demokratis yang menerapkan pemilihan langsung, latar belakang pendidikan pemilih rata-rata nasional minimal tamat SMA, sedangkan pendapatan mencapai 6.000 dolar AS.

Sementara, kata dia, pendidikan masyarakat Indonesia rata-rata nasional hanya tamat SMP dan pendapatan nasional belum mencapai 4.000 dolar AS. Menurut  Djohermansyah, daerah dengan faktor-faktor yang telah disebutkan masih tidak mencukupi sebaiknya dilakukan pemilihan tidak langsung sampai ada peningkatan.

Ia juga menyebutkan, Indonesia menggelar pilkada langsung sejak 1 Juni 2005. Selama 14 tahun hingga terakhir Pilkada 2018, pemililihan sudah dilakukan sebanyak 1.567 yang tersebar di berbagai daerah.

Dari 1.567 itu, Djohermansyah memiliki data, terdapat 421 kepala daerah baik gubernur, bupati, maupun wali kota beserta para wakilnya terjerat tindak pidana hukum termasuk tindak pidana korupsi. Padahal, daerah otonomi di Indonesia berjumlah 542 daerah.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, kepala daerah yang melakukan korupsi ditenggarai karena demi mengembalikan modal untuk ikut pilkada. Akan tetapi, gaji sebagai kepala daerah selama lima tahun tidak menutupi uang yang sudah dikeluarkan, sehingga mereka mencari jalan dengan korupsi untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.

"Mungkin dalam konteks itu Mendagri Tito mungungkapkan bahwa perlu dikaji secara akademik, pilkada yang diselenggarakan berbiaya politik yang tinggi, juga akibat-akibatnya kepala daerah kena tipikor," kata Djo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement