Selasa 05 Nov 2019 16:45 WIB

Jika UU Pilkada tak Direvisi, Koruptor Tetap Dilarang

Pelarangan dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan Pilkada 2020.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (7/8).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tetap akan melarang mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, pelarangan tersebut dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan dalam Pilkada 2020.

"Ya, berdasarkan putusan rapat pleno KPU. KPU tetap akan mencantumkan dalam norma PKPU bahwa calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah itu harus memenuhi syarat. Salah satu syaratnya adalah bukan mantan narapidana korupsi," ujar Wahyu di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Selasa (5/11).

Baca Juga

Ia menuturkan, seorang pezina, pemabuk, dan pejudi saja tidak diperbolehkan maju sebagai calon kepala daerah (cakada). Apalagi, mantan napi kasus korupsi yang dianggap memiliki daya rusak sosial tinggi.

Larangan perbuatan tercela itu tertuang dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Sementara, larangan mantan napi kasus korupsi tak diatur dalam UU Pilkada.

Akan tetapi, usulan revisi UU Pilkada untuk mengatur larangan eks napi koruptor semakin tertutup karena anggota Komisi II DPR RI menganggap tak cukup waktu jika harus merevisi UU tersebut. Hal itu terungkap saat rapat dengar pendapat bersama DPR, Kemendagri, dan Bawaslu terkait PKPU tentang pencalonan dalam Pilkada 2020 pada Senin (4/11).

Menurut Wahyu, KPU memiliki pandangan bahwa mantan narapidana korupsi tetap dilarang maju pilkada dalam norma hukum yang tertuang di PKPU. Selain itu, ada Undang-Undang lain di luar UU Pilkada yang mengamanatkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

"Itu kan juga landasan hukum. Dalam menjalankan aturan main pilkada, kan juga tetap berlaku Undang-Undang lain yang meskipun secara tidak langsung itu mengatur KPU," kata Wahyu.

Kemudian, KPU juga membantah argumentasi untuk menyerahkan proses itu kepada pemilih. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa menyerahkan sepenuhnya kepada pemilih untuk mencari pilihan kepala daerah yang terbaik pun ternyata masih belum cukup.

"Terbukti, bagaimana mungkin calon dalam posisi tersangka dalam tahanan KPK, ia menang dalam pilkada, misalnya. Kemudian orang yang sudah pernah terpidana korupsi kemudian sudah menjalani hukuman dia mencalonkan lagi dan terpilih, juga kena OTT KPK," tutur dia.

"Apakah ini tidak cukup bagi kita untuk kembali menegaskan dalam norma bahwa mantan narapidana korupsi itu tidak diperbolehkan untuk menjadi calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah," lanjut Wahyu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement