Selasa 05 Nov 2019 15:47 WIB

IDI Beri Saran Soal Distribusi Dokter Spesialis ke Pelosok

Dokter spesialis tak lagi diwajibkan bertugas ke pelosok.

Rep: Febryan A/ Red: Reiny Dwinanda
Dokter spesialis bertugas di daerah. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Dokter spesialis bertugas di daerah. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyampaikan sejumlah usulan kepada pemerintah terkait upaya pendistribusian dokter spesialis ke wilayah-wilayah pelosok. Hal ini disampaikan menyusul dianulirnya peraturan presiden (Perpes) yang mewajibkan dokter spesialis bertugas di wilayah pelosok dan diganti sifatnya menjadi sukarela.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar IDI (PB IDI) dr Moh Adib Khumaidi SpOT mengatakan, saat ini memang masih banyak daerah yang belum memiliki dokter spesialis, terutama wilayah pelosok atau pulau terluar. Ia mengungkapkan lima besar kebutuhan dokter spesialis mencakup spesialis penyakit dalam, anak, bedah, anestesi, dan dokter spesialis kebidanan dan kandungan.

Baca Juga

"Nah ini yang kemudian kami minta agar sekarang distribusinya merata," kata Adib kepada Republika.co.id, Selasa (5/11).

IDI pun memberikan tiga usulan kepada pemerintah agar distribusi dokter spesialis merata dan dirasakan masyarakat manfaatnya. Pertama, memperbanyak dokter spesialis yang pendidikannya dibiayai oleh pemerintah.

Adib menjelaskan, mewajibkan dokter spesialis bertugas di wilayah terpencil seperti yang diatur dalam Perpres Nomor 4/2017 tidak bisa dilakukan pemerintah karena itu adalah bentuk pemaksaan dan tentu melanggar HAM. Lain halnya jika sang dokter spesialis dibiayai pendidikannya oleh pemerintah lewat beasiswa.

"Kalau dibiayai pemerintah pusat ataupun daerah itu mereka pasti kembali, tentu ada kesepakatan atau kontrak untuk mengabdi di daerah atau wilayah pelosok," kata Adib.

Untuk saat ini, menurut Adib, dokter spesialis yang pendidikannya dibiayai pemerintah jumlahnya sangat sedikit dibandingkan lulusan mandiri. Ia pun berharap agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai membuat program beasiswa dokter spesialis.

Kedua, mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Dengan begitu, para dokter spesialis bisa melakukan semua tindakan medis yang diperlukan di daerah tempatnya bertugas.

"Jangan sampai dia disekolahkan, tapi tidak ada sarana dan prasarana yang mendukung. Sayang ilmunya," ujar Adib.

Ketiga, perhatian dari pemerintah daerah (pemda). Hal ini penting, menurut Adib, untuk memastikan para dokter spesialis yang ditugaskan di wilayah pelosok bisa bekerja dengan nyaman. Kesejahteraan mereka harus terjamin.

Adib mengungkapkan bahwa walaupun dalam Perpres terbaru Nomor 31/2019 tidak lagi diwajibkan bagi dokter spesialis bertugas di wilayah pelosok, tapi masih tetap ada dokter yang ingin mengabdi di daerah secara sukarela. Hal ini harus dioptimalkan pemerintah.

"Masih ada juga kok yang mau ke daerah, walau tidak wajib dalam program sekarang. Meskipun jumlah tak sebanyak sebelumnya," kata Adib.

IDI, menurut Adib, juga ikut serta mendukung upaya pemerintah tersebut. IDI  memotivasi dokter spesialis muda agar mau dan berani bertugas di wilayah pelosok.

"Kami bersama perhimpunan-perhimpunan dan kolegium dokter juga meminta agar dokter-dokter yang sudah di daerah menyambut kedatangan mereka," jelas Adib.

Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis yang salah satu poinnya tak lagi mewajibkan dokter spesialis bertugas di daerah atau wilayah pelosok. Sifatnya diganti menjadi sukarela.

Perpres itu dikeluarkan setelah Perpres sebelumnya dianulir oleh Mahkamah Agung (MA). MA menganulir Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) itu lanraran melanggar UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 19 tahun 1999 tentang Konvensi ILO soal Penghapusan Kerja Paksa. MA menilai bahwa adanya wajib kerja 1 tahun serta WKDS di daerah di seluruh Indonesia sebagai bagian dari kerja paksa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement