REPUBLIKA.CO.ID, PAPUA — Senator Filep Wamafma memperoleh sejumlah pengaduan masyarakat yang cukup menohok. Masyarakat melaporkan minimnya aktivitas pelayanan di Rumah Sakit Umum milik pemerintah maupun swasta.
“Saya mendapat informasi berupa aduan masyarakat bahwa di Papua ini ternyata pelayanan di RS masih sangat terbatas. Misalnya di Unit Gawat Darurat (UGD) dokternya tidak ada di tempat”, ujar Filep dalam keterangannya, Senin (13/5/2024).
“Bahkan dokter ahli terbatas, sementara pasien membutuhkan tindakan cepat. Bagi saya, inilah potret Papua sekarang di tengah melimpahnya dana Otsus. Ini menjadi sebuah ironi yang tidak bisa dibiarkan,” tegas Filep.
Terkait kondisi ini, Pace Jas Merah itu selanjutnya memberi kritik keras kepada pihak-pihak terkait, mengenai pembangunan layanan kesehatan di Papua.
“Kadang saya heran karena yang ditekankan pemerintah pusat, pemprov dan pemda lebih banyak dalam pembangunan infrastuktur misalnya jalan dan gedung pemerintah. Padahal yang urgen dan mendasar ialah kesehatan dan pendidikan sebagai perintah utama UU Otsus. Keselamatan, kesehatan, pendidikan, kemanusiaan, itu yang harus jadi fokus dan indikator keberhasilan Otsus,” kata Filep lagi.
Wakil Ketua Komite I DPD RI ini lantas menyampaikan argumentasi hukumnya. Ia menguraikan dasar hukum tentang pembangunan kesehatan yang termuat dalam UU Otsus Perubahan.
“Saya harus sampaikan kepada publik, bahwa perjuangan sebagai Ketua Tim Otsus DPD RI yang ikut menyusun UU Otsus, menghasilkan 2 pasal yang sangat penting untuk kesehatan, yaitu pertama, Pasal 34 ayat (3) huruf e angka 2 huruf b yang menyebutkan bahwa paling sedikit 20 persen dari penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25 persen dari plafon Dana Alokasi Umum nasional yang totalnya 2,25 persen digunakan untuk belanja kesehatan. Otsus periode 1 hanya sebesar 2 persen saja dan itu pun dibagi pendidikan dan kesehatan tanpa ada angka yang jelas. Kedua, Pasal 36 ayat (2) huruf b yang menegaskan bahwa 25 persen dari DBH Migas digunakan untuk belanja kesehatan dan perbaikan gizi. Otsus yang periode 1 hanya 15 persen saja. Jadi ada kenaikan signifikan di situ”, kata Filep.
“Sayang sekali, perjuangan itu tidak sepenuhnya diperhatikan di lapangan. Maka tidak heran kalau sebagai contoh saja, berdasarkan Data BPS 2022, Papua Barat termasuk lima besar terbawah terkait jumlah dokter. Di tahun 2021 yang lalu, Data BPS menunjukkan hanya ada 10 Rumah Sakit di Papua Barat. Baik infrastuktur maupun tenaga kesehatan, yang paling mengenaskan ada di Kabupaten Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak. Per 2021 kedua kabupaten ini tidak memiliki RS. Dari 381 orang Tenaga Medis di Papua Barat, hanya ada 7 orang di Manokwari Selatan dan 9 orang di Pegunungan Arfak,” sambungnya.
Dia menambahkan, kemudian tenaga farmasi di Pegunungan Arfak hanya dua orang. Bahkan untuk Tenaga Psikologi Klinis, hanya ada tiga orang di Fakfak sementara di semua kabupaten lainnya sama sekali kosong.
Secara keseluruhan provinsi, persebaran semua jenis tenaga kesehatan sesuai data BPS per 2021 adalah Tenaga Medis 381 orang, Tenaga Keperawatan 2.172 orang, Tenaga Kebidanan 1.145 orang, Tenaga Kefarmasian 222 orang, Psikologi Klinis 3 orang, Tenaga Kesehatan Masyarakat 199 orang, Tenaga Kesehatan Lingkungan 66 orang, Tenaga Gizi 153 orang, dan Tenaga Keterapian 17 orang.
Lebih lanjut, doktor Hukum lulusan Universitas Hasanuddin ini menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan juga seharusnya dimaksimalkan dari pemberian Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas Bumi (Migas).
“Contoh saja, DBH Migas untuk Provinsi Papua Barat pada 2023 sebesar Rp 2.609.393.660 triliun. Jika dihitung 25 persen dari DBH Migas, maka dananya kurang lebih Rp 652.348.415 miliar di tingkat provinsi. Transfer DBH Migas ke kabupaten-kabupaten masing-masing kurang lebih sebesar Rp 66.472.906 milyar.
Maka pembiayaan kesehatan di tiap kabupaten sebesar 25 persen yaitu Rp 16.618.226 miliar. Ini belum termasuk 1,25 persen dari plafo DAU nasional yaitu sebesar Rp 59.074.493 miliar di tingkat provinsi, dan Rp 36 miliar-Rp 51 miliar untuk tingkat kabupaten. Dana ini sangat besar sehingga jika di UGD dan RS tidak ada dokter ataupun dokter ahli, itu kan sangat mengherankan,” tegas Filep lagi.