REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar komunikasi dari STIKOM Semarang Gunawan Witjaksana memandang pemerintah perlu menggalakkan program literasi informasi dan komunikasi. Kemampuan literasi membantu masyarakat berkemampuan memilih dan memilah informasi mana saja yang tidak menimbulkan intoleransi antarumat beragama.
"Biasanya orang yang mudah tersesat adalah mereka yang memperoleh informasi manipulatif dan tidak memiliki informasi pembanding. Bibit-bibit intoleransi biasanya muncul karena hal tersebut," kata kata Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. di Semarang, Selasa (5/11) pagi.
Gunawan mengemukakan hal itu ketika merespons hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan bahwa pemerintahan Joko Widodo memiliki modal yang baik untuk menjawab tantangan intoleransi dan penurunan kebebasan sipil.
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan, Ahad (3/11), menyebut pemerintah memiliki modal yang cukup besar untuk menghadapi tantangan tersebut. Dalam hal inilah, menurut Gunawan, sebenarnya peran pemerintah melalui program literasi informasi dan komunikasi. Dengan demikian, masyarakat akan mampu memilih dan memilah informasi yang bermanfaat atau sebaliknya.
Menanggapi soal gejala menurunnya kebebasan sipil dan meningkatnya intoleransi di awal periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, seturut (sesuai dengan) hasil survei LSI, Gunawan memandang perlu peran tokoh lintas agama. Salah satunya ketika mereka menyampaikan khotbah.
"Dari sisi komunikasi, faktor 5 W plus 1 H (what, who, when, where, why, dan how) perlu diperhitungkan pula dalam setiap proses komunikasi. Termasuk tatkala menyampaikan khotbah," kata Gunawan menjelaskan.
Dalam menerima khotbah, kata Gunawan, biasanya audiens terlebih dahulu akan melihat who. Atau siapa yang menyampaikan khotbah karena kredibilitas komunikator itu penting.
Adapun syaratnya, selain memiliki expertness (keahlian), penilaian audiens terhadap karakter komunikator itu penting. Selanjutnya, kata Gunawan, isi ceramah bermuatan pesan yang informatif agar mampu menghilangkan ketidakpastian atau kebingungan audiens.
"Yang perlu diperhatikan, biasanya audiens akan mudah menerima informasi yang mereka terima ketika tidak punya informasi pembanding," kata Gunawan yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.