REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istana Kepresidenan memberi sinyal komposisi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) akan didominasi oleh ahli hukum. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyampaikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih punya waktu sampai Desember 2019 untuk memilih nama-nama yang akan bergabung dalam dewas.
"Macam-macam. Tentu saja ahli hukum yang akan banyak ya, tapi juga ada nonhukum, ada dimensi sosialnya muncul. Tapi belum diputuskan final. Sekarang masih listing lah," kata Pratikno di Krida Bhakti Sekretariat Negara, Senin (4/11).
Pratikno juga menyampaikan, Presiden secara aktif meminta masukan dari berbagai pihak untuk memilih anggota dewan pengawas. Apalagi, pemilihan Dewan Pengawas KPK tanpa melalui panitia seleksi (pansel). "Sementara ini Presiden setiap saat ketemu, selalu meminta masukan kira-kira siapa. Intinya kan mengawal kerja pimpinan KPK yang baru," katanya.
Pekan lalu, Jokowi memastikan orang-orang yang ditunjuknya nanti merupakan sosok yang memiliki kredibilitas baik. Dia juga masih menerima masukan-masukan terkait sosok yang akan dipilihnya sebagai Dewas KPK.
"Ya saat ini untuk Dewan Pengawas KPK, kita masih dalam proses mendapatkan masukan-masukan untuk siapa yang nanti bisa duduk di dalam Dewan Pengawas KPK," kata dia. Pelantikan anggota Dewas KPK akan diselenggarakan bersamaan dengan pengambilan sumpah pimpinan komisioner KPK yang baru, yakni Desember 2019.
Ketua Komisi III DPR Herman Hery mengatakan, pemilihan dewas untuk pertama kali memang ditunjuk langsung oleh presiden tanpa melalui pansel. Komisi III pun, kata dia, tak bisa mengintervensi hal tersebut.
"Presiden memilih, kalau tanya subjektif/objektif bergantung siapa yang menilai kanbegitu. Tetapi bunyi UU begitu. Kalau kamu tanyakan ke Komisi III kami serahkan ke presiden," ujar Herman, kemarin.
Komisi III juga tak menghiraukan Dewas KPK berasal dari unsur apa pun, termasuk kepolisian atau mantan penyidik KPK. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan UU KPK, siapa pun boleh asalkan sudah punya jam terbang 15 tahun.
"Terkait conflict of interest atau tidak konflik bergantung siapa yang melihat. Kalau kelompok rakyat, kelompok rakyat yang mana, kan begitu kira-kira," ujar Herman.
Meski begitu, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin berharap Jokowi memilih orang-orang yang sudah berpengalaman di bidang hukum. "Cari orang yang berpengalaman di bidang hukum, punya experiencedi bidang hukum. Bisa saja mantan KPK, bisa saja mantan komisioner, tentu punya experience yang cukup di bidang hukum," ujar Azis.
Azis juga meminta semua pihak tetap mengawasi proses pemilihan Dewas KPK untuk menghindari konflik kepentingan dalam proses pemilihannya. "Kita harus menjaga, seluuh komponen bangsa harus menjaga, tak ada conflict of interest dalam penunjukan dalam pelaksanaan UU," ujar Azis.
Tersandera
Sementara itu, ribut-ribut soal revisi UU KPK masih belum usai. Terakhir, Presiden Jokowi mengatakan, tak akan mengeluarkan Perppu KPK karena sedang ada proses judicial reviewdi Mahkamah Kontitusi (MK). Analis Politik Exposit Strategic Arif Susanto menilai, tidak dikeluarkan nya perppu adalah pertanda Presiden Jokowi telah menjadi sandera ketika setuju dengan DPR untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Menurut dia, Jokowi menyadari risiko kecaman publik jauh lebih mudah dihadapi dibandingkan tekanan politik dari parlemen. "Karena itu dia (Jokowi) memilih bersama DPR untuk menyandera negara," kata Arif, dalam diskusi Penyikapan Masyarakat Madani Atas Keputudan Presiden Membatalkan Perppu, Senin (4/11).
Dia berpandangan, prioritas Jokowi kini adalah mempertahankan ke kuasaan. Untuk itu, dia bersedia bersekongkol dengan sejumlah elite, termasuk mengakomodasi kepentingan khusus mereka. "Elite politik berbeda pandangan dalam banyak hal, tetapi mereka dapat berse kongkol untuk melemahkan KPK," kata Arif.
Soal perppu ini, Aziz Syamsuddin mengaku pihaknya tak mau ikut campur. "Itu urusan presiden, kita tidak bisa campur. Nanti aja kita lihat. Kalau UU sudah ada, kan perppu ada syaratnya, syarat-syaratnya untuk keluarkan perppu kan ada syaratnya," ujar dia. Sejauh ini, politikus Golkar Aziz mengklaim belum mendengar adanya kabar perppu akan diterbitkan.
Sedangkan, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly enggan berkomentar. Yasonna justru melemparkan persoalan itu kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. "Ya (perppu) itu ditanyakan saja ke pak menko lah. Biar ditindaklanjuti," ujar Yasonna. Ia kemudian menimpali bahwa hasil revisi sudah berlaku. (sapto andika candra/rizkyan adiyudha/nawir arsyad akbar/nugroho/mimi kartika ed: ilham tirta)