Rabu 06 Nov 2019 08:03 WIB

Kapolri Baru dan Darurat Demokrasi

Sejumlah catatan kriminalisasi dan pembatasan hak fundamental membahayakan demokrasi.

Anggota Fraksi PKS DPR RI, Nasir Djamil
Foto: istimewa/doc pribadi
Anggota Fraksi PKS DPR RI, Nasir Djamil

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M.Nasir Djamil, Anggota Fraksi PKS DPR RI.

Langkah Komisaris Jenderal Polisi Idham Azis menduduki kursi Kepala Kepolisian Republik Indonesia, berjalan mulus tanpa hambatan. Setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR, lembaga wakil rakyat tersebut menyudahinya  dengan persetujuan di sidang paripurna. Kini pria berdarah Bugis yang dikenal sebagai pemburu teroris itu resmi menyandang bintang empat di pundaknya, setelah Presiden Jokowi melantiknya menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Tito Karnavian, di Istana Negara.

Menjabat  terakhir sebagai Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, sorotan publik terkait masih kuatnya sinyalemen bahwa penegakan hukum belum mengandung unsur keadilan dan kebenaran tentu bukan informasi  baru bagi Jenderal Idham. Karena itu, ekspektasi publik agar dirinya mampu menghadirkan penegakan hukum yang transparan, adil, objektif,  dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral,  menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar.

Kepolisian  di era demokrasi harus bertumpu pada upaya untuk meraih kepercayaan publik yang diwujudkan melalui penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan optimalisasi pemeliharaan keamanan ketertiban masyarakat.  Karena itu, patut kita cemaskan ketika sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai Polri adalah salah satu aktor yang membahayakan demokrasi di negeri ini. Polri dianggap belum menegakkan hukum secara adil, bahkan kerap melakukan kriminalisasi, termasuk longgarnya impunitas terhadap pelanggaran HAM.

Dua puluh tahun setelah Reformasi 1998, publik berharap agar pengakuan HAM di Indonesia semakin kuat dan membaik dalam sistem ketatanegaraan dan hukum Indonesia. Negara pasca-Orde Baru diharapkan akan bersikap lebih positif terhadap kondisi HAM. Namun faktanya, belum ada perubahan siginifikan, terutama soal perjuangan demokrasi dan pemenuhan HAM. Termasuk di antaranya jaminan kebebasan pers, kemerdekaan berekspresi dan berpendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta hak memperoleh informasi.

Apalagi situasi politik mengalami polarisasi pasca-pemilu yang tak mudah direkonstruksi menjadi relasi yang ideal. Situasi ini diperparah dengan meningkatnya perbedaan pilihan antar pendukung kubu politik. Hal ini mendorong pengetatan kontrol terhadap isi konten media daring yang dianggap sebagian kalangan memiliki kontribusi besar dalam menimba suara pemilih, khususnya dari kalangan generasi muda.

Situasinya semakin runyam dengan meningkatnya produksi dan penyebaran hoaks politik dalam bentuk disinformasi dan misinformasi. Akibatnya, informasi yang didapatkan masyarakat penuh kebohongan dan propaganda.

Situasi ini berimbas ke ranah digital. Kontrol Pemerintah semakin ketat atas internet. Padahal angka pertumbuhan pengguna Internet mencapai 143,26 juta atau 54,68% dari total penduduk Indonesia. Sebelum periode tahun politik, kontrol ini sudah pernah terjadi, yakni pada situsweb dan media sosial lewat berbagai tindakan pemblokiran dan penyensoran, terutama pada situs-situs dewasa dan nuansa kekerasan. Kali ini, kondisi masih diperburuk dengan praktik pemadaman internet (internet shutdown) yang dilakukan oleh pemerintah. Alhasil, tindakan pemadaman internet ini digunakan sebagai cara baru pemerintah mengontrol informasi, membatasi akses informasi dan melakukan sensor di internet.

Tidak hanya itu, kalangan organisasi masyarakat sipil juga mencatat sejumlah kasus kriminalisasi terhadap aktivis pro demokrasi di tahun 2019. Pada Agustus-September 2019, sejumlah aktivis dituduh sebagai pelaku yang harus bertanggungjawab atas sejumlah kerusuhan.

Berdasarkan data dari situs Mahkamah Agung (MA) tercatat 292 kasus terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) selama tahun 2018. Jumlah itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, sebanyak 140 kasus. Kasus sepanjang 2018 itu bahkan melebihi dari total kasus sejak 2011 – 2017 yaitu sebanyak 216 kasus. Adapun total kasus terkait UU ITE yang terpantau di situs MA lima tahun terakhir mencapai 508 kasus. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi yang menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan atau juncto Pasal 45 ayat 3 UU No.19/2016. Di posisi kedua adalah kasus ujaran kebencian, dengan menggunakan pasal 28 ayat 2 UU ITE dan atau juncto Pasal 45A ayat 2.

Padahal, kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak yang fundamental. Bahkan PBB telah mengeluarkan Resolusi No 20/8 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa perlindungan atas kemerdekaan berekspresi mempunyai perlindungan yang sama baik dalam aktivitas daring maupun luring.

Sebagai negara hukum, Indonesia sudah menyediakan jaminan mengenai kemerdekaan berekspresi diatur dalam UUD 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2). Selain itu UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kemerdekaan berekpresi tersebut, dalam Pasal 22 ayat (3) UU.

Membahayakan demokrasi

Sejumlah catatan kriminalisasi dan pembatasan hak fundamental tersebut jelas membahayakan demokrasi. Terbukti, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2018 berada dalam kategori sedang dengan skor 72,39. Akan tetapi, dari ketiga aspek yang dinilai, hanya aspek lembaga demokrasi yang mengalami perbaikan, sedangkan aspek kebebasan sipil dan hak-hak politik mengalami penurunan.

Terdapat lima indikator yang berkontribusi besar terhadap penurunan aspek kebebasan sipil, yaitu pertama, ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat; kedua, ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat; ketiga, aturan tertulis yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama; keempat, tindakan/pernyataan pejabat pemerintah yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama; dan kelima tindakan/pernyataan pejabat pemerintah yang diskriminatif dalam hal gender, etnis, dan kelompok.

Pada aspek hak-hak politik, penyebab utama dari menurunnya aspek tersebut adalah kurangnya tingkat partisipasi masyarakat dalam memberikan kritik dan masukan kepada penyelenggaraan pemerintahan.

Memburuknya status kebebasan sipil di Indonesia menunjukkan semakin menciutnya ruang sosial dan politik bagi masyarakat sipil untuk berekspresi, berkumpul, hingga berorganisasi, termasuk bagi kelompok-kelompok minoritas.

Polri kerap menjadi aktor terdepan atas nama penegakan hukum. Kriminalisasi atas hak yang dijamin Konstitusi dan UU seperti hak menyampaikan pendapat, berkumpul dan berserikat dapat terjadi karena sejumlah hal. Pertama, tidak adanya check and balances pada saat penentuan tersangka. Kedua, minimnya akuntabilitas penentuan tersangka. Ketiga, lemahnya akuntabilitas penahanan & penahanan berkepanjangan. Keempat,  pembatasan akses penasihat hukum.

Di sisi lain, hasil survei menunjukan tingkat kepuasan masyarakat terhadap Polri meningkat dari 46,7 persen pada 2014 menjadi 82,9 persen pada 2018. Hasil survei tersebut menunjukan citra polisi saat ini dinilai baik oleh 71,2% responden.

Menguji komitmen

Namun, survei juga menyatakan di balik apresiasi publik terhadap kinerja Polri, masih ada pekerjaan rumah untuk meninggalkan sejumlah citra negatif yang masih melekat. Salah satunya stigma bahwa polisi mudah disuap. Meski jumlah responden yang menganggap polisi tidak mudah disuap masih lebih besar, masih ada 39,6 persen responden yang berpendapat sebaliknya. Catatan lainnya terkait independensi Polri. Masih ada 39,4 responden yang menganggap institusi ini tidak netral dan berpihak pada kekuasaan. Polri masih dinilai tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas atau tebang pilih dalam menindak kejahatan.

Polri di bawah kepemimpinan Tito Karnavian pelan-pelan mengikis stigma buruk tentang perilaku Polri selama ini. Namun, perilaku tersebut masih terus terjadi meski terlihat muncul tenggelam dan dilakukan oleh sebagian oknum. Namun, bagaimanapun ini masih menjadi pekerjaan rumah dan menguji komitmen Kapolri yang baru.

Tantangan-tantangan inilah yang akan menjadi jalan terjal bagi Jenderal Idham Azis yang menjadi calon tunggal Kapolri. Polri harus dipimpin dengan  gagasan baru untuk mereformasi kultural internal di tubuh Polri. Salah satunya dengan memperkuat pengawasan internal dan menambah independensi pengawas eksternal. Selain itu, langkah memperbarui hukum acara pidana sangat diperlukan untuk meminimalkan penggunaan hukum sebagai alat kriminalisasi. Semoga!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement