Jumat 01 Nov 2019 12:02 WIB

Politik, Perang, dan Pemekaran Papua

Pemekaran dianggap jalan memuluskan migrasi pendatang.

Fitriyani Zamzami
Foto: dok. Pribadi
Fitriyani Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Pada pertengahan menuju akhir 2003 silam, pecah perang lokal di Timika, Papua. Ribuan berhadap-hadapan, melesatkan anak panah dan baku parang. Kali ini, tak seperti biasanya, demarkasi kesukuan diterabas. Sebagian anggota suku Amungme dan suku Dani bergabung menyerang sesama anggota suku. Yang biasanya tinggal sama-sama di rumah bujang terbelah kubu.

Sepanjang 23 Agustus hingga 1 September 2003 itu, sedikitnya 11 berpulang dari kedua kubu yang bertikai. Puluhan lainnya terluka. Bangunan-bangunan habis dibakar. (Republika, 2 September 2003).

Kondisi di Papua beberapa bulan menjelang kerusuhan itu sedianya tak genting-genting amat. Gelombang tuntutan meminta merdeka yang menyeruak sejak 1998 mulai mereda. Pembunuhan tokoh Papua Theys Eluay sudah dua tahun berjalan dan kemarahan yang menyertainya mulai pudar. Ada harapan, Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang mulai berjalan bisa bikin keadaan sedikit lebih baik.

Namun di tengah riak yang mulai reda itu, pemerintah pusat bikin gerakan tiba-tiba yang mengirimkan gelombang kejut ke Papua. Januari 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri secara tiba-tiba mengeluarkan Inpres Nomor 1/2003 yang menginstruksikan percepatan penerapan UU Nomor 45/1999. Menkopolhukam saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengklaim tak mengetahui langkah tersebut.

Yang diatur dalam UU 45/1999 adalah pembagian Papua ke dalam tiga wilayah. yakni Irian Jaya, Irian Jaya Tengah (Irjateng), dan Irian Jaya Barat (Irjabar). Regulasi itu sempat mendapat penolakan keras pada 1999 sehingga tak kunjung diimplementasikan. Banyak pihak di Papua melihat UU 45/1999 sebagai upaya adu domba pusat menghadapi tuntutan merdeka saat itu.

Banyak hal yang membuat banyak pihak menolak Inpres 1/2003 tersebut. Pertama, ia menegaskan UU 45/1999 yang ditolak tersebut. Kedua, ia mengembalikan nama Irian Jaya yang sudah diubah menjadi Papua sejak 2001. Ketiga, ia menerabas aturan dalam UU Otsus bahwa pemekaran harus dilakukan melalui pembahasan di DPRD yang kemudian mendapat persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pemekaran juga dianggap sebagai jalan memuluskan migrasi pendatang yang bakal mengancam keberadaan orang asli Papua.

Penolakan sedianya sudah disuarakan banyak tokoh sejak inpres dikeluarkan. Aksi unjuk rasa di Papua dan Jakarta dilakukan menolak regulasi itu. Pemerintah bergeming. Hingga akhirnya, pada 23 Agustus 2003, Andreas Anggaibak, ketua DPRD Mimika, mendeklarasikan pembentukan Provinsi Irjateng di Timika.

Pendeklarasian itulah yang jadi pemicu perang di Timika. Para pendukung pemekaran datang diangkut dengan truk ke kantor DPRD Mimika untuk menyokong deklarasi, berhadap-hadapan dengan para penolak yang sudah berunjuk rasa sejak sehari sebelumnya sudah berkumpul di tempat yang sama.

Apa yang memicu pemerintah pusat nekat mengeluarkan inpres kontroversial itu? Alasan pemerintah saat itu, untuk mempercepat pembangunan di Papua. Wilayah di Papua dianggap terlampau luas untuk ditangani satu administrasi di Jayapura.

Meski begitu, bahkan sebelum kerusuhan, lembaga internasional pemantau potensi konflik, International Crisis Group (Dividing Papua, How Not to Do It, April 2003), sudah menyoroti sejumlah nuansa lain dibalik Inpres 1/2003. Pertama, ada dukungan dari militer dan BIN bahwa inpres bisa memudahkan penanganan gerakan separatisme di Papua. Kemudian, ada juga nuansa pertarungan politik menuju Pemilu 2004.

Partai Golkar dianggap punya keuntungan dana dan patronase jika Papua tetap jadi satu wilayah. Sebaliknya, PDIP dinilai bisa membuat patronase baru serta menempatkan patron-patron politik baru. Pembagian tiga wilayah juga dicurigai sebagai upaya memeroleh kursi anggota DPR RI yang lebih banyak dari Papua. (Republika, 27 Agustus 2003).

Pada akhirnya, bentrokan berdarah di Timika memaksa pusat menunda Inpres 1/2003 dan UU 45/1999. Mahkamah Konstitusi juga kemudian membatalkan pembentukan Irjateng dalam undang-undang tersebut, meski tetap mengabulkan pembentukan Irjabar yang kini menjadi Papua Barat.

Nah, bagaimana dengan rencana pemekaran terkini yang diwacanakan Presiden Joko Widodo dan Mendagri Tito Karnavian? Meski sudah jadi wacana yang lama bergulir, rencana pemekaran baru-baru  ini menyeruak di tengah kondisi yang juga tak jenak di Papua dan Papua Barat selepas insiden rasialisme di Surabaya yang berujung aksi diwarnai kerusuhan dan timbulnya korban jiwa.

Usulan pemekaran ini mulanya muncul saat 61 orang yang mendaku sebagai perwakilan warga Papua menghadap Presiden Jokowi pada 10 September 2019. Rombongan itu diketuai Abisai Rollo, politikus Golkar yang juga ketua tim pemenangan daerah Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres 2019. Tak ada perwakilan MRP dalam rombongan yang diakui Wiranto, menko polhukam saat itu, sudah melalui penyaringan.

Saat itu, tuntutan paling atas alias nomor satu yang disampaikan Abisai Rollo adalah pemekaran Papua menjadi lima provinsi. Pada 15 Oktober, Tjahjo Kumolo sebagai mendagri mulai mengungkapkan kemungkinan dibentuknya dua provinsi baru di Papua.

Usulan pemekaran kemudian disampaikan lagi oleh Bupati Lanny Jaya sekaligus ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Befa Yigibalom saat menemui Jokowi di Wamena, 28 Oktober lalu. Menjelang Pilpres 2019 lalu, Befa Yigibalom memimpin sejumlah bupati dari Papua menyatakan dukungan bagi Jokowi-Ma'ruf dengan target 100 persen suara. Hal itu kembali ia singgung dalam pertemuan di Wamena.

"Kalau ada berkat yang dibagi ke provinsi lain, maka kalau bisa jantung duluan. Jantung itu kami Pegunungan Tengah. Suara sah 100 persen, Pak," kata dia di hadapan Presiden. Jokowi kala itu langsung menjanjikan tindak lanjut pembentukan provinsi Papua Tengah.

Sehari setelahnya, Mendagri Tito Karnavian justru mengungkapkan bahwa pembentukan Provinsi Papua Selatan yang dapat lampu hijau. Pembentukan Provinsi Papua Tengah masih dalam pembahasan karena ada tarik ulur dengan daerah-daerah di Teluk Cendrawasih. Menkopolhukam, Mahfud MD mengiyakan langkah itu dan menyatakan moraturium pemekaran daerah yang saat ini berlaku bisa dikecualikan untuk Papua.

Dilihat dari wacana pemekaran terkini, ada sejumlah kemiripan dengan inpres pada 2003. Satu, wacana itu juga hadir menyusul kian kentaranya tuntutan merdeka dan referendum Papua, meski kali ini dibalut konflik akibat rasialisme.

Wacana ini juga muncul kembali di bawah pemerintahan yang dikuasai PDI Perjuangan. Nuansa politis kentara pada tokoh yang menyuarakan wacana itu dari Papua.

Namun yang paling krusial, wacana kali ini, seperti pada 2003, mengabaikan amanat dalam Pasal 76  UU Otsus Papua soal peran Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam pemekaran daerah. Peran MRP krusial dalam pemekaran karena lembaga itu adalah lembaga kultural khas Papua yang diisi tokoh adat, pemuka agama, lelaki dan perempuan yang mewakili seluruh suku di Papua.

Dalam Pasal 76 UU Otsus Papua, diatur bahwa pemekaran provinsi di Papua harus melalui pembahasan pemda dan DPRP lalu disampaikan ke MRP. MRP kemudian mengkaji lagi usulan itu berdasarkan perimbangan kepentingan kultural masyarakat Papua. Jika MRP setuju, baru pemekaran provinsi direkomendasikan ke pusat untuk ditindaklanjuti.

Pada 2003, alasannya saat itu MRP memang belum diisi anggotanya. Saat ini, alasan itu tak bisa dipakai karena anggota MRP sudah lengkap. Dan Ketua MRP Timotius Murib sudah dengan tegas menolak wacana pemekaran terkini dengan berbagai alasan, utamanya karena potong kompas prosedural yang dilakukan pusat.

Katakanlah, pemekaran Papua adalah niatan baik pemerintah pusat. Bagaimanapun, ia tak boleh tergesa-gesa apalagi melanggar prosedur yang berpotensi bikin sakit hati warga Papua. Pemerintah pusat harus diingatkan lagi pada kejadian di akhir Agustus 2003 lalu. Tak boleh dan tak perlu lagi ada nyawa yang hilang karena kebijakan serampangan di Papua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement