Jumat 01 Nov 2019 05:01 WIB

Iuran Naik, Saatnya BPJS Kesehatan Masuki Ranah Pencegahan

Dengan pencegahan maka keuangan BPJS Kesehatan juga akan sehat.

Dwi Murdaningsih
Foto: dokpri
Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*

Presiden Joko Widodo resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja dua kali lipat dari sekarang. Kenaikan iuran berlaku 1 Januari 2020 mendatang.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Jokowi pada 24 Oktober. Besar iuran yang harus dibayarkan sebesar Rp 42.000 per bulan untuk kelas III, sebesar Rp 110.000 per bulan untuk kelas II, dan sebesar Rp 160.000 per bulan untuk kelas I.

Mari membuat simulasi. Jika satu keluarga dengan empat anggota orang maka dia harus membayar Rp 640 ribu jika ingin menikmati fasilitas kelas I, membayar Rp 440 ribu jika ingin menikmati kelas II dan cukup membayar Rp 168 ribu untuk menikmati layanan kelas III. Ambil contoh untuk kelas I, jika UMR sekitar Rp 4 juta, maka biaya BPJS Kesehatan sudah mengambil porsi 16 persen dari penghasilan.

Awal tahun mendatang, bukan hanya iuran BPJS yang akan naik. Pemerintah telah menyetujui pemangkasan subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA rumah tangga mampu (RTM). Pencabutan subsidi ini dilakukan mulai tahun 2020. Artinya, tarif listrik untuk pelanggan 900 VA juga akan naik. Tahun baru, harga baru.

Soal kenaikan iuran BPJS ini menuai berbagai tanggapan. Meski sudah dilakukan berbagai penolakan melalui aksi, toh kenaikan BPJS tidak bisa dihindari. Pemerintah berpendapat, kenaikan iuran adalah satu-satunya cara untuk menutup defisit BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan berpotensi defisit hingga mencapai Rp 32,8 triliun tahun ini jika tak ada kenaikan pada iuran peserta.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menegaskan kenaikan iuran BPJS Kesehatan nantinya akan mampu menutup defisit BPJS Kesehatan. Dengan kenaikan ini, ke depannya tidak akan terjadi lagi defisit yang merugikan masyarakat. Jika defisit sudah diatasi, pemerintah nantinya akan lebih mudah dalam memperbaiki tata kelolanya agar tidak terjadi defisit lagi di kemudian hari.

Defisit BPJS Kesehatan ini berdampak pada seluruh pihak yang terkait mulai dari rumah sakit hingga pasien. Sudah tentu defisit BPJS Kesehatan berdampak terhadap pelayanan fasilitas kesehatan kepada pasien. Jika BPJS Kesehatan defisit, maka pembayaran kepada rumah sakit tertunda. Rumah sakit bisa mengalami gagal bayar kepada pihak ketiga.

Rumah sakit menunggak pembiayaan obat-obatan. Ini tentu menghambat kerja dokter dalam menangani pasien. Dalam skala yang ekstrem, rumah sakit tidak mampu lagi menampung pasien BPJS. Masyarakat harus berobat dengan biaya mandiri. Ini yang dikhawatirkan bersama.

Namun, perpres sudah terlanjur ditekan. Jikapun tidak bisa dianulir lagi, kita masyarakat bolehlah  meminta jaminan apakah dengan kenaikan ini sungguh bisa menutup defisit BPJS Kesehatan? Benarkah nanti kenaikan iuran bisa berdampak dengan pelayanan semakin baik? Kenaikan BPJS wajib dibarengi dengan merapikan kekurangan BPJS Kesehatan selama ini. Misalnya, perapihan admistrasi sehingga klaim kesehatan dibayarnya lebih cepat.

Namun, lebih dari itu, kini sudah saatnya BPJS Kesehatan dengan menggandeng berbagai stake holder masuk ke dalam ranah pencegahan agar masyarakat sehat selalu. Jika dirunut, BPJS Kesehatan defisit karena banyak yang sakit. Masyarakat tentu tidak salah dengan memanfaatkan fasilitas dari pemerintah untuk berobat. Namun, jika masyarakat bisa menjaga kesehatan, bisa dicegah sakitnya maka keuangan BPJS Kesehatan akan tetap 'sehat'.

 

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement