Kamis 31 Oct 2019 08:34 WIB

Pemerintahan Jokowi Dinilai Perlu Jelaskan Radikalisme

Kita perlu tanyakan kepada rezim Jokowi. Apa radikalisme itu?

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Ma'ruf Amin mengendarai mobil golf seusai pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di Beranda Halaman Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Ma'ruf Amin mengendarai mobil golf seusai pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di Beranda Halaman Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat isu intelijen dan terorisme, Harits Abu Ulya mempertanyakan terminologi radikalisme. Ia meminta pemerintah menjelaskan definisi radikalisme secara jelas, terukur, dan menyampaikan hal itu kepada masyarakat.

"Jadi kita perlu tanyakan kepada rezim Jokowi. Apa radikalisme itu? Apa tolak ukurnya? Siapa yang punya otoritas merumuskan definisi terminologi itu? Siapa pihak yang di anggap radikal? Sejauhmana bahayanya saat ini?" ujar Harits kepada Republika, Rabu (30/10).

Kemudian, pemerintah juga diminta jujur akan ancaman aktual yang dihadapi Indonesia saat ini. Padahal Indonesia mempunyai Badan Intelijen Negara (BIN), Intelijen dan Keamanan (Intelkam), Badan Intelijen Strategis (Bais), serta unsur intelijen lainnya.

Menurut Harits, satuan intelijen itu pasti memiliki analisis mengenai ancaman dengan segala levelnya terhadap negara. Sehingga, jangan sampai rakyat ramai-ramai di provokasi pemerintah untuk menghadapi musuh imaginatif atau ancaman asumtif terhadap isu radikalisme.

"Rakyat hari ini sikapnya kritis, dan membaca di balik ngototnya pemerintah mengusung proyek deradikalisasi itu untuk menutupi susuatu yang jauh lebih besar dan urgen," kata dia.

Ia mengatakan, lebih bahaya lagi jika soal radikalisme itu tendensinya kepada Islam dan umatnya. Seharusnya pemerintah bersikap bijak terhadap perbedaan atau keragaman diruang demokrasi dengan mengedepankan nalar sehat.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD mengatakan, akan menjalankan program deradikalisasi. Hal tersebut merupakan pesan Presiden Joko Widodo dalam menghadapi paham radikalisme yang terjadi di Indonesia.

"Itu salah satu pesan presiden, kita diminta melakukan deradikalisasi," kata Mahfud di Kompleks Kantor Gubernur DIY, Yogyakarta, Senin (28/10).

Ia menegaskan, kelompok radikal bukan berarti orang Islam. Ia pun mengajak agar pemikiran bahwa orang yang radikal merupakan orang Islam untuk diubah.

"Kelompok radikal itu bisa Islam bisa tidak. Dimana-mana banyak orang radikal. Oleh sebab itu jangan dibelok-belokkan. Karena radikalisme bukan orang Islam juga, jadi jangan dikacaukan," katanya.

Ia menjelaskan, radikalisme berarti gerakan atau paham yang ingin menawarkan alternatif lain terhadap ideologi dengan cara kekerasan. Untuk itu perlu adanya upaya deradikalisasi.  "Radikal itu lawannya gradual. Gradual itu bertahap," lanjut Mahfud.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement