REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum internasional dari Universitas Nasional, Ogiandhafiz Juanda SH LL MCLA mengatakan sulit membawa kasus kekerasan dialami mahasiswa saat demonstrasi beberapa waktu lalu ke Mahkamah Internasional. Terlebih Indonesia belum menjadi negara yang meratifikasi Statuta Roma.
"Kasus kekerasan pada mahasiswa saat terjadi demonstrasi beberapa waktu lalu tidak bisa dibawa ke Mahkamah Internasional, karena harus mengedepankan pengadilan domestik. Kemudian kita juga salah satu negara yang bukan meratifikasi Statuta Roma," ujar Ogiandhafiz, dalam dialog di Jakarta, Jumat (25/10).
Selain itu, pemerintah juga belum mengamandemen UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, sehingga pengadilan HAM masih rendah. Ogi juga menjelaskan dalam Statuta Roma hanya ada dua hal yang termasuk kategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yakni genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Dia menambahkan, demonstrasi merupakan konsekuensi saat memilih menjadi negara demokrasi. Ada tidaknya pelanggaran HAM saat demonstrasi tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, tetapi juga keseluruhan, apa yang menyebabkan kekerasan itu terjadi.
"Demonstrasi adalah hak berdaulat dan sesuai konstitusional dan dijamin UUD 1945. Kita harus melihat apa penyebab kekerasan itu. Anarkisme mahasiswa juga tidak boleh dibenarkan, sementara tindakan represif juga tidak dibenarkan," katanya.
Menurut dia, ada tidaknya indikasi pelanggaran hukum dalam demonstrasi harus dilakukan adil dan objektif. Dia juga menyarankan agar kasus kekerasan dalam penanganan demonstrasi diajukan ke Kompolnas ataupun Propam Polri, sehingga bisa diselesaikan dengan baik.
Pakar hukum lainnya, Razman Nasution mengatakan mahasiswa sebagai agen perubahan harus mengedepankan dialog dibandingkan melakukan demonstrasi.
Razman menyayangkan kenapa mahasiswa menolak ajakan Presiden Jokowi untuk bertemu dalam menyelesaikan perbedaan pandangan. Seharusnya dengan dialog, mahasiswa tidak perlu turun ke jalan untuk berdemonstrasi, katanya pula.