Selasa 22 Oct 2019 01:55 WIB

Cross-Hijabers, Mengapa Bisa Sampai Terjadi?

Di Tanah Air fenomena cross-hijabers dipandang meresahkan.

Di Indonesia budaya cross-dressing dikenal sejak lama. Salah satunya melalui kesenian ludruk. Pemain ludruk pria kerap tampil sebagai wanita.
Foto: dok Republika
Di Indonesia budaya cross-dressing dikenal sejak lama. Salah satunya melalui kesenian ludruk. Pemain ludruk pria kerap tampil sebagai wanita.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indira Rezkisari*

Kebiasaan mengenakan pakaian yang identik dengan lawan jenis sebenarnya bukan hal baru. Entah sudah dari berapa ribu tahun lalu budaya mengenal kebiasaan tersebut.

Baca Juga

Konon Alexander the Great saja beberapa kali ditemukan mengenakan pakaian perempuan Yunani, tepatnya tampil seperti Dewi Pemanah Artemis.

Kebenarannya masih harus ditelaah. Tapi setidaknya kebiasaan cross-dressing bukan hal baru. Sebab Alexander the Great disebut sudah melakukannya di era 324-323 SM.

Di Indonesia budaya pria berpakaian wanita atau berperilaku wanita juga bisa ditemukan di beberapa daerah. Suku Bugis dari Sulawesi Selatan mengenal lima jenis kelamin. Tak hanya pria dan wanita, ada calalai atau pria yang lemah gemulai seperti wanita, calabai atau wanita yang tomboi seperti laki-laki. Dan terakhir ada bissu, seorang yang bukan pria dan bukan pula wanita.

Di Jawa, ada budaya kesenian ludruk yang diperankan oleh pria tapi sebagai wanita. Para pemeran wanita pasti melakukan cross-dressing atau berpakaian dan berperilaku wanita.

Fenomena serupa juga bisa ditemukan di banyak budaya lain. Sebut saja di India, Thailand, Meksiko, Jepang, dan lainnya.

Mungkin cross-dressing tidak akan menarik perhatian publik jika pria yang melakukannya tidak mengenakan busana wanita muslim alias berhijab. Mereka adalah para pria yang melakukan cross-hijab atau juga disebut dengan cross-hijabers.

Bila di luar negeri fenomena cross-dressing dianggap bagian dari cara berpakaian saja, di Indonesia sebaliknya. Para cross-hijabers, dipandang meresahkan. Alasannya mereka masuk ke bagian shalat wanita di masjid bahkan ikut masuk ke tempat wudhu.

Sebagian kota di Tanah Air pun menyiagakan kepolisian untuk mengawasi gerak-gerik cross-hijabers di masjid atau mushala. Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia Faozan Amar mengatakan bahwa cross-hijabers merupakan perilaku menyimpang. Bahkan dalam Islam, tindakan tersebut dilarang. "Pantang seorang pria berpakaian seperti wanita atau bahkan wanita yang juga berpakaian sebaliknya (mutasyabih)," katanya.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti mendesak agar Polri mengusut tuntas soal cross-hijabers. "Penyelidikan Polri itu bukan menjadikan mereka pelaku tindak kriminal tapi memastikan siapa mereka apa motifnya dan polisi bisa melacak karena mereka punya akun media sosial," kata dia.

Namun, dia mengatakan, jika pelaku cross-hijabers dianggap mengalami kelainan perbedaan psikologis sebaiknya diberikan pembinaan. Sementara, apabila mereka sengaja sebagai bagian dari berbusana berbeda dengan jenis kelaminnya itu menurut agama tidak boleh.

Bagi MUI fenomena cross-hijabers dipandang meresahkan dan perlu diwaspadai. "Fenomena cross-hijabers perlu diwaspadai, apa motif gerakan ini, apakah sekedar mode saja ataukah ada motif lain, misalnya kriminal, teror atau ingin merusak citra hijab itu sendiri," kata Wakil Ketua Umum MUI KH Zainut tauhid Sa'adi.

KH Zainut kembali menegaskan, apa pun alasannya bila pria berdandan menyerupai wanita, hukumnya haram. Sebab, ajaran Islam melarang keras pria menyerupai wanita dan wanita menyerupai pria. Secara takdir dan syariat pria dan wanita adalah berbeda.

Dia mengutip hadis HR Imam Bukhari yang melarang pria berdandan menyerupai wanita dan wanita berdandan seperti pria. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki.

Di media sosial memang tidak sulit menemukan akun cross-hijabers. Di Instagram setidaknya ditemukan beberapa akun, mulai dari yang pengikutnya hanya puluhan akun hingga yang pengikutnya mencapai puluhan ribu.

Apa sebenarnya yang menjadi penyebab seorang pria berpakaian seperti wanita. Psikolog Anak dan Remaja, Ine Indriani, mengatakan sebenarnya ada banyak alasan pria menyukai berpakaian seperti wanita.

Salah satunya adalah pengaruh pergaulan dan bawaan. Tak hanya itu pengaruh pola asuh ternyata mempengaruhi. "Peran yang tidak seimbang antara ayah dan ibu. Role model-nya dari gender yang seharusnya kurang atau bisa juga ada bawaan gen hormon yang mempengaruhi kondisi gender dirinya," tambah Ine.

Pelaku cross-dressing dengan alasan transgender, artinya ia memiliki kebutuhan untuk menjadi gender yang diinginkan. Ine mengatakan berpakaian seperti wanita pun menjadi sarana aktualisasi diri.

Mungkin fenomena cross-hijabers ini bisa jadi peringatan bagi orang tua untuk selalu mencoba ada bagi anaknya. Karena seorang anak tumbuh besar menjadi manusia dewasa, berhasil atau tidaknya, banyak bergantung dari caranya dibesarkan.

Mungkin juga kepolisian harus banyak waspada karena tidak sedikit pelaku cross-hijabers yang melakukannya karena faktor kriminal. Mulai dari berpura-pura sebagai wanita dan ternyata melakukan pencurian, atau karena ingin melakukan pelecehan kepada wanita.

Apapun alasannya, jelas Islam melarang pria berperilaku serupa wanita atau sebaliknya. Wallahu a'lam bishawab.

* penulis adalah redaktur Republika.co.id

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement