Senin 21 Oct 2019 00:05 WIB

Jokowi Dilantik, PKS Jadi Oposisi Bersama Mahasiswa dan STM

PKS kemungkinan akan sendirian menjadi oposisi di parlemen.

Andri Saubani
Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Joko Widodo (Jokowi), pada Ahad (20/10) resmi dilantik menjadi Presiden terpilih bersama Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden. Sebagai Presiden, Jokowi akan menjalani masa lima tahun kerja periode keduanya.

Pada periode kedua massa pemerintahannya, Jokowi sepertinya ingin merangkul hampir seluruh kekuatan partai politik yang berhasil memiliki kursi di parlemen. Hal itu ditandai lewat kedatangan para ketua umum partai nonkoalisi di Pilpres 2019, ke Istana Negara memenuhi undangan presiden.

Prabowo Subianto (Gerindra), Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat), Zulkifli Hasan (PAN) telah bergiliran memenuhi undangan Jokowi. Mereka duduk berdiskusi bersama Jokowi di salah satu ruang Istana yang kemudian, kepada pers tak dibantah oleh sang tuan rumah bahwa mereka membicarakan potensi koalisi ke depan.

Hanya petinggi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak terlihat mendatangi Istana. Belum jelas apakah mereka tidak diundang atau menolak undangan Jokowi. Namun, yang pasti beberapa elite PKS seusai kalah pada Pilpres 2019 telah berulang kali menegaskan, partai dakwah itu akan mengambil peran sebagai oposisi konstruktif.

Apakah ini pertanda PKS akan menjadi satu-satunya partai yang beroposisi terhadap Jokowi? Apakah kemudian mekanisme checks and balances oleh parlemen kemudian hanya akan diperankan oleh PKS yang hanya meraih 50 kursi dari 575 kursi yang tersedia di DPR? 

Dua pertanyaan di atas akan terjawab saat Jokowi nantinya mengumumkan komposisi Kabinet Kerja Jilid II. Akan terungkap nantinya, apakah ada wakil Gerindra, Demokrat, PAN – yang petingginya telah sowan ke Istana – menjadi menteri Jokowi. Jika iya, sudah bisa dipastikan, PKS akan sendirian menjadi oposisi untuk lima tahun ke depan.

Sebagai presiden yang telah dua kali merasakan pilpres di mana polarisasi di tingkat elite dan akar rumput begitu hebatnya, upaya Jokowi kini bisa memicu beragam tafsir politik. Di antaranya adalah, Jokowi memang ingin mewujudkan rekonsiliasi besar dengan cara merangkul banyak lawan politik pascapilpres. Tafsir lainnya, Jokowi menginginkan stabilitas politik yang mumpuni pada periode terakhir pemerintahannya, tanpa ada ‘gangguan-gangguan’ dari parlemen.

Apa yang dilakukan Jokowi sebenarnya mirip-mirip dengan langkah SBY pada 2009 silam. Usai memenangi pilpres yang keduanya, SBY merangkul semua partai politik dan menyisakan PDIP sebagai oposisi di DPR sendirian. Namun sialnya, turbulensi politik pada periode kedua kepemimpinan SBY toh masih juga sering terjadi.

Fenomena politik yang terjadi di Indonesia sebenarnya sejalan dengan apa yang pernah diteliti oleh Scott Mainwaring pada 1993. Profesor Ilmu Politik dari Universitas Notre Dame itu pernah berkesimpulan bahwa, sistem presidensial, multipartai, dan demokrasi adalah suatu kombinasi yang sulit. Bahkan, menurut Mainwaring, kombinasi ini bisa mengarah pada suatu kegagalan.

Mainwaring berargumen bahwa, kombinasi antara sistem multipartai dan presidensialisme akan menghancurkan stabilitas dalam negara demokrasi. Dari 31 negara demokrasi yang ada di dunia, menurut Mainwaring, hanya satu negara demokrasi, yakni Cile yang berhasil mengkombinasikan formula multipartai dan presidensialisme. Negara-negara di Amerika Latin menjadi yang paling banyak mengalami masalah dalam berdemokrasi, berdasarkan penelitian Mainwaring. 

Mainwaring mengungkap tiga alasan mengapa kombinasi multipartai dan presidensialisme menjadi begitu problematik.

Pertama, sistem multipartai cenderung memproduksi banyak deadlock antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kedua, sistem multipartai identik dengan polarisasi ideologi. Terkahir, kombinasi presidensialisme dan multipartai menjadi semakin ruwet saat presiden kesulitan untuk membangun koalisi antarpartai.

Buat Saya, penelitian Mainwaring mestinya akan menjadi sempurna jika masalah etik atau etika berpolitik ikut menjadi variabel penelitian. Alasannya, Saya tetap yakin, sistem multipartai tak bisa dihindari oleh negara heterogen, seperti Indonesia. Menurut Saya, tidak mungkin negara berpopulasi besar dengan beragam suku, agama, etnis seperti Indonesia hanya diwakili oleh dua atau tiga partai dalam pemilu.

Jika elite partai politik selalu menjunjung tinggi etika dalam berpolitik, mestinya publik dan masyarakat sipil tidak perlu mengkhawatirkan bagaimana mekanisme checks and balances akan berjalan. Yang sudah kalah dalam pemilu, seharusnya tetap teguh dalam jalur kekuatan penyeimbang di parlemen sambil terus mengartikulasikan aspirasi konstituen yang setia terhadap mereka pada pemilu lalu.

Di mana etika politik para elite, ketika tidak lama setelah pemilu usai, yang kalah langsung bicara kemungkinan menyeberang ke koalisi pemenang pemilu atau kongkow-kongkow dengan wakil elite penguasa? Lunturnya nilai-nilai etis para elite yang pragmatis semakin kentara, saat belakangan, ada elite yang terang-terangan meminta jatah menteri seusai wakil parpolnya diundang ke Istana.

Apakah para elite di atas tidak peka atau mungkin malah tidak peduli akan adanya psikologis publik yang menginginkan kehadiran oposisi yang kuat sebagai penyeimbang kekuasaan? Seperti apa yang pernah dikatakan oleh pemikir kontroversial, Rocky Gerung, frasa oposisi bukan sekadar kelembagaan, tapi merupakan jalan pikiran alternatif.

Jika suatu saat nanti terjadi crack pada rezim yang tengah berkuasa, lalu siapa yang akan menyuarakan suara rakyat? Apakah PKS nantinya tetap cukup mampu dan bisa mengartikulasikan jalan pikiran alternatif publik di parlemen? Sepertinya mustahil.

Atau jangan-jangan, pada periode lima tahun ke depan, penguasa di sini malah menjadi sering langsung berhadap-hadapan dengan 'parlemen jalanan' (demo mahasiswa dan STM)? Lantaran sebagian besar kekuatan elite politik telah tersedot habis masuk dalam lingkaran kekuasaan.

*penulis adalah jurnalis Republika.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement