Ahad 20 Oct 2019 10:55 WIB

Lerena Mangan Sedurunge Wareg

Wasiat dari HOS Tjokroaminoto itu masih relevan dengan Indonesia saat ini.

Miqdam Awwali Hashrim, amil BAZNAS Bidang Dakwah dan Advokasi
Foto:
Miqdam Awwali Hashrim, amil BAZNAS Bidang Dakwah dan Advokasi

Mendorong kebijakan yang melarang menyia-nyiakan makanan

Penghargaan terbesar kita bagi para petani yang ada di desa-desa, dengan sawah yang mereka sewa, atau bahkan ada yang sebagai buruh tani, adalah dengan tidak menyia-nyiakan makanan yang telah mereka hasilkan. Masih kita jumpai, sebagian dari saudara-saudara kita yang masih menyia-nyiakan makanan dengan membuangnya karena tidak habis dimakan. Jika kadar kemampuan mereka untuk makan terbatas, sebaiknya mereka tidak mengambil berlebihan.

Sebagai ilustrasi, jika kemampuan mengkonsumsi makanan hanya sebanyak 70 maka jangan mengambil sebanyak 100. Dengan demikian terdapat alokasi sebanyak 30 yang bisa didistribusikan kepada kaum lemah.

Ini bisa kita jumpai di restoran-restoran atau tempat-tempat makan, terlebih untuk kelas mewah di ibu kota bahkan hingga warung-warung makan kecil. Sampah-sampah organik berupa sisa makanan menumpuk di tempat sampah mereka yang besar.

Petugas yang membersihkan sisa-sisa makanan juga bisa jadi adalah pelayan-pelayan restoran, yang bisa jadi berasal dari desa yang mana kedua orang tuanya juga petani. Orang tuanya yang berprofesi sebagai petani harus bersimbah keringat setiap harinya karena dipanggang terik matahari.

Malam tidak bisa tidur karena khawatir serangan tikus yang sewaktu-waktu menyerang. Bahkan di kala hujan pun harus khawatir karena sawahnya bisa kebanjiran.

Hasil panen yang tidak seberapa karena kualitas tanah berkurang serta harus menyetor kepada pemilik sawah. Tentu ini merupakan suatu hal yang tragis.

Semangat dari gagasan mendorong adanya kebijakan pengaturan konsumsi pangan bukanlah bermaksud untuk turut campur atau melarang hak orang untuk mengkonsumsi makanan, melainkan untuk menciptakan semangat persahabatan dan berbagi sehingga memperkecil gap antara the have dengan the have not. Kita sebut saja kebijakan tersebut dalam rangka “distribusi kalori dan gizi”.

Negara berperan menghadirkan akses pangan bergizi dan berkualitas bagi rakyat yang lemah. Negara perlu memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang tidak menghargai makanan, (yaitu) yang menyisakan makanan di piring, membuang makanan, dan bentuk menyia-nyiakan lainnya. Sanksi tersebut kemudian didistribusikan dalam bentuk akses kepada rakyat yang membutuhkan pangan berkualitas.

Kita juga ingat ayat Alquran Surah Al Isra’ 17: 26-27, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang menghamburkan itu adalah saudara-saudara syaithan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.”

Agama Islam telah memberikan solusi tepat dalam mengelola idle asset, berupa zakat. Setiap harta yang telah memenuhi nishab harus diambil zakatnya yang merupakan hak bagi orang lain.

Mereka yang telah memenuhi nishab zakat harus mengeluarkan zakatnya karena di dalam harta tersebut ada hak orang lain. Negara harus hadir dalam mengambil zakat tersebut yang kemudian didistribusikan kepada mustahik yang merupakan tanggung jawab negara agar memperoleh rasa keadilan dan kemakmuran. 

Begitu halnya dengan “nishab kalori dan gizi”. Setiap orang harus mendistribusikan sebagian kalori dan gizi berlebih, yang dia miliki agar dapat diakses oleh saudaranya yang membutuhkan. Sebelum perutnya kenyang maka ia harus berhenti.

Dia sudah tidak lagi mengkonsumsi makanan karena dapat berakibat pada “penimbunan kalori dan gizi”. Selain tidak baik untuk diri sendiri, juga akan menciptakan “gap kalori dan gizi” dengan saudaranya yang lain.

Sebagaimana halnya harta yang melebihi nishab ketika tidak dikeluarkan zakatnya bisa menjadi racun bagi harta tersebut, demikian juga dengan “kalori dan gizi” berlebihan yang tidak dikeluarkan haknya, dapat menjadi racun bagi tubuh manusia.

Dalam kondisi seperti ini, negara dapat saja mengatur kebutuhan konsumsi pangan, khususnya bagi sebagian kelompok the have. Jangan sampai, karena mereka memiliki uang berlebih, mereka merasa dapat membeli apa saja.

Jika itu terjadi, mereka dapat menimbun apa saja yang mereka inginkan, khususnya pangan berkualitas. Rakyat yang tidak memiliki uang, tentu sulit mengakses pangan berkualitas.

Akhirnya rakyat hanya dapat mengkonsumsi makanan yang bermutu rendah. Hal itu berdampak pada kualitas SDM yang seterusnya akan rendah.

Konsumsi pangan bagi kaum the have harus dibatasi, sebagian dari kemampuan mereka harus didistribusikan kepada kaum lemah. Tidak boleh ada makanan tersisa, jangan ada makanan yang terbuang.

Jangan sampai ada rakyat yang lemah akal dan sakit-sakitan karena sulitnya mengakses makanan berkualitas, sehingga harus mengambil makanan dari sisa-sisa orang lain, yang ada di tong sampah misalnya. Itu merupakan aib bagi kita semua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement