REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Provinsi Jawa Tengah sangat membutuhkan sumber daya manusia (SDM) bidang pertanian. Hal ini disebabkan proses regenarasi SDM pertanian di daerah ini belum bisa berjalan sesuai harapan.
Anggota Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah, Setia Budi Wibowo mengatakan, data Sensus Pertanian 2018 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah menunjukkan jumlah petani di daerah ini mencapai 4.469.728 orang.
Dari jumlah tersebuti, sebanyak 72 persen di antaranya adalah petani yang telah berusia di atas 45 tahun. Sisanya, sebanyak 28 persen merupakan petani usia produktif di bawah usia 45 tahun.
“Artinya, petani kita (di Jawa Tengah) didominasi oleh orang tua dan masih sulit menemukan anak muda yang mau terjun sebagai SDM bidang pertanian,” ungkapnya, di Semarang.
Bowo, sapaan akrab Setia Budi Wibowo, mengatakan data Sensus Pertanian BPS Jateng ini menunjukkan Jateng masih kekurangan SDM usia muda guna melanjutkan keberlagsungan pertanian di daerahnya.
Sehingga ia juga mengajak kaum muda agar mau ‘turun ke sawah’ untuk bertani. “Sehingga industri pertanian di Jateng ke depan tidak akan kekurangan SDM di bidang pertanian,” tegasnya.
Wakil Ketua FPKS DPRD Provinsi Jateng ini menambahkan, faktor kesejahteraan petani masih menjadi penghambat bagi kaum muda di daerah ini untuk terjun dan menekuni bidang pertanian.
Kaum muda masih banyak yang beranggapan profesi petani masih kurang menjanjikan. Sehingga menjadi faktor penghalang bagi anak-anak muda untuk terjun dan menekuni bidang pertanian.
Padahal, sebagai negara agraris, Indonesia tak terkecuali bagi Jateng, saatnya membutuhkan SDM untuk mengelola lahan pertanian. Dengan begitu daerah ini akan mampu mempertahankan produktivitas pertanian yang selama ini sudah dicapai oleh Jateng.
Maka, Bowo pun mengingatkan pentingnya pemerintah merancang program-program penguatan nilai tukar petani, agar ke depan hasil panen dari petani bisa mendapatkan harga jual yang lebih layak.
“Sebab, jika harga jual petani terus membaik dan dilihat lebih menghasilkan, saya yakin nanti akan banyak anak muda yang mau bertani atau paling tidak menekuni bidang pertanian tersebut,” tegasnya.
Disinggung mengenai Hari Pangan yang diperingati pada 16 Oktober, Bowo mengungkapkan bahwa peringatan Hari Pangan sebaiknya tidak berhenti pada acara seremonial saja.
Hari Pangan sedunia dapat menjadi momen penting bagi kedaulatan pangan nasional, khususnya di Jateng. “Yang lebih penting dari sebuah perayaan adalah, merumuskan bagaimana agar petani di Jateng dapat mandiri dan lebih berkontribusi terhadap kedaulatan pangan di daerahnya."
Masih menurut Bowo, selain SDM yang perlu diperhatikan oleh pemerintah terkait dengan pangan adalah ketersediaan lahan pertanian. Sebab semakin bertambahnya jumlah penduduk di Jateng akan berpengaruh pada alih fungsi lahan pertanian.
Sekarang sudah banyak lahan pertanian yang sebelumnya ada , kini telah beralih fungsi untuk pemukiman penduduk atau akibat dari bertambahnya proyek infrastruktur dan industri yang ada di Jateng,” tegasnya.
Apalagi, jelas Bowo, sebelumnya, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jateng menyebutkan, dalam kurun waktu 2008 hingga 2018, tercatat sebanyak 6.596,86 hektare lahan pertanian hilang atau beralih fungsi. Yang terbanyak adalah beralih menjadi permukiman penduduk atau jalan tol.
Semangat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan yang berkelanjutan pun harus terus dikawal. Undang-undang ini mengamanatkan, bahwa Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Di lain pihak, peringatan Hari Pangan se-dunia, di tingkat Provinsi Jateng rencananya bakal dilangsungkan di Kota Salatiga, pada 25 hingga 27 Oktober mendatang. “Kami berharap, peringatan Hari Pangan se-dunia ini bisa menjadi momentum bagi masyaraka