REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan bahwa pemerintah terus berupaya mengelola keseimbangan antara stabilitas dengan demokrasi. Hal itu terkait dengan indeks kebebasan berpendapat Indonesia yang disebut hampir lima tahun sudah tidak lagi dalam level bebas.
"Cara menyikapi dan mempersepsi situasi berbeda, pemerintah berupaya mengelola stabilitas dengan demokrasi karena di satu sisi tuntutan demokrasi luar biasa, apalagi dengan pertumbuhan media luar biasa, tapi sulit mengelola stabilitas dengan demokrasi," kata Moeldoko di kantor staf kepresidenan (KSP) Jakarta, Jumat (18/10).
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyampaikan kebebasan berekspresi dan menyampaikan berpendapat di Indonesia mundur sejak 2014.
Elsam mengutip situs freedomhouse.org. Elsam menyatakan, indeks kebebasan berpendapat Indonesia hampir lima tahun sudah tidak lagi dalam level bebas.
Dalam penjelasan di situs tersebut, kebebasan berekspresi Indonesia mundur pada 2014 terkait penerbitan UU Ormas pada medio 2013. UU itu dinilai mengekang kebebasan warga Indonesia. Terutama setelah serangkaian diskriminasi kepada kalangan penganut Ahmadiyah.
Hingga saat ini, menurut situs tersebut belum ada kemajuan dalam sektor kebebasan berpendapat. Elsam berpendapat ada andil pemerintahan Joko Widodo dalam kemunduran tersebut. Salah satu yang disoroti adalah pasal karet yang semakin sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis. UU ITE serta pasal makar dan pasal penodaan agama KUHP jadi regulasi paling sering mengkriminalisasi kebebasan berpendapat.
Menata demokrasi
Moeldoko menegaskan, pemerintah ingin sekali menata demokrasi dengan baik. Oleh karena itu perlu ada aturan-aturan agar stabilitas bisa terjaga. "Risiko ini yang kadang tidak bisa dibaca teman-teman lain dan yang bisa baca dengan pasti adalah kami karena kami melihat betul situasinya," ungkap Moeldoko.
Moeldoko melanjutkan, ada kesan di zaman Jokowi ini seolah-olah keras. Padahal pada faktanya tidak demikan. Karena pemerintah harus benar-benar mengelola dua kubu yang memiliki pandangan berbeda.
"Begitu kita pelihara stabilitas langsung disebut otoriter, nah ini sebenarnya atau mengelola dua kubu itu yang harus dipahami semuanya kalau tidak bisa pemerintah akan dikatakan otoriter," ungkap Moeldoko.
Presiden Jokowi, menurut Moeldoko, juga sempat menerima aksi Kamisan dan juga mengundang para pemangku kepentingan lain seperti Jaksa Agung dan Menteri Hukum dan HAM.
"Hal ini menandakan bahwa Presiden ingin menyelesaikan ini tapi masalahnya persoalan masa lalu yang cukup lama sehingga ketersediaan bukti, saksi dan unsur-unsur," jelas Moeldoko.
Kondisi inilah yang menghambat penyelesaian secara tuntas. Untuk itu perlu ada upaya baru. Tidak hanya sekadar pendekatan hukum, tapi juga 'non-judicial' dikedepankan.