Rabu 16 Oct 2019 17:09 WIB

Warga Pendatang di Wamena Masih Diliputi Ketakutan

Saat situasi mulai kondisif, terjadi peristiwan penikaman di Wamena pada Sabtu lalu.

Seorang warga berada di puing rumahnya yang terbakar di kawasan Hom-hom, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Sabtu (12/10/2019).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Seorang warga berada di puing rumahnya yang terbakar di kawasan Hom-hom, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Sabtu (12/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono

Di Wamena, Papua, ketakutan masih dirasakan semua orang. Tak ada yang pasti kapan ancaman datang. Setelah hampir tiga pekan Ibu Kota Jayawijaya itu berangsur kondusif usai kerusuhan 23 September, aksi penikaman seorang pendatang, Sabtu (12/10) di Wouma, kembali membuat ciut semua warga yang tinggal di Lembah Pegunungan Tengah Papua itu.

Baca Juga

Para perantau, pun juga warga asli, masih memilih mengungsi keluar. Tetapi pemerintah daerah setempat melarang. Mereka yang bertahan juga belum berani tidur di rumah sendiri pada malam hari.

Anggus Yirga, semula ragu-ragu memasuki pelataran Kantor Komando Operasi TNI AU III di Wamena, Senin (14/10). Padahal, di gerbang tak berpintu unit pelayanan Lanud Manuhua itu, tak ada penjagaan.

Pagi itu, tanah Wamena basah karena hujan. Para serdadu berlaras panjang, memilih ngaso dan ngopi, di bagian dalam sambil nonton sepak bola perempuan. Republika berada di teras, menunggu kepastian dapat terbang dengan pesawat Hercules.

“Bapak, ada pesawat (penerbangan) Hercules kah hari ini?,” tanya Anggus kepada Republika.

Tak berwenang menjawab, Republika masuk ke ruangan, menyampaikan kepada penjaga kedatangan Anggus. Satu tentara, dengan senjata laras panjang keluar menghampiri. Ia menanyakan kedatangan Anggus. Pemuda 20-an tahun itu, bertanya yang sama kepada petugas itu.

“Bapak, ada Hercules kah hari ini?,” tanya Anggus.

Si penjaga, pun menjawab dengan bertanya tujuan Anggus.

“Ke Jayapura, Bapak,” jawab Anggus.

Penjaga itu menanyakan kembali kepada Anggus tentang surat izin keluar Wamena dari pemerintah setempat.

“Ada suratnya dari bupati?” kata si petugas. Si Anggus terbengong.

“Kalau tidak ada suratnya, tidak bisa,” kata si petugas.

Anggus tampak kecewa. Lalu memohon. “Tolonglah bapak,” kata Anggus, hampir menangis. “Kami sudah tidak aman di sini bapak. Tolonglah,” pinta dia.

Si petugas dengan ramah menjelaskan, Hercules untuk sementara tak diizinkan untuk keluar dari Wamena. Kecuali, kata si petugas, jika ada surat keterangan dari pemerintah daerah.

“Kamu minta suratnya ke pemda (pemerintah daerah). Hari ini ada (Hercules) ke Jayapura. Tapi, kamu harus minta surat izin dari bupati,” ujar si petugas.

Anggus berkali-kali memohon. Ucapannya, pun sudah mulai sengau karena tahu, tanpa surat dari bupati, tak akan dapat terbang keluar Wamena.

“Bagaimana kami ini bapak. Mati kami di sini. Tolonglah bapak,” kata Anggus.

Si petugas yang tetap bernada rendah, hanya menyarankan agar Anggus kembali pulang, lalu meminta surat pengantar dari pemda. “Nanti kamu, ke pemda. Minta surat dari bupati, nanti ke sini lagi. Ada Hercules nanti ke Jayapura. Ya,” kata si petugas.

Anggus yang menyerah, mulai meneteskan air mata. Ia lalu memilih pergi.

Kepada Republika Anggus mengatakan, ia adalah perantau dari Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel). Ia mengaku sebagai keponakan dari Deri Datu Padang. Laki-laki 30 tahun asal Toraja, yang meninggal dunia di Wouma, akibat ditikam orang tak dikenal (otk), Sabtu (12/10).

“Om (paman) saya itu,” kata dia.

Anggus, seperti Deri yang merantau ke Wamena, Papua, sebagai tukang kuli bangunan. Kejadian yang menimpa pamannya itu, membuat ia dan seluruh keluarga dari Toraja, meminta mengungsi pulang ke kampung halaman di Sulawesi.

“Pulang saja kami. Tidak aman di sini. Tolong bapak, bantu kami,” kata dia.

Anggus mengatakan, ia bersama ibunya masih tertahan di Wamena sebagai pengungsi. “Di Tongkongan (rumah adat suku Toraja di Wamena),” ujar dia.

Setelah kematian sang paman, perasaan takut menjejali pikiran orang-orang Toraja yang ada di Wamena. Menurut Anggus, setelah kejadian penikaman, jenazah sang paman, masih berada di Tongkongan.

Jenazah sang paman tadinya hendak diterbangkan ke kampung halaman, Ahad (13/10). Akan tetapi, tak ada penerbangan dari Wamena. Pada Senin (14/10) jenazah baru  diterbangkan dengan pesawat kargo ke Makassar via Jayapura.

Pemerintah daerah, kata Anggus, menanggung biaya pengiriman jenazah. Hanya, kata dia, pemerintah setempat tak mengizinkan semua keluarga ikut keluar Wamena.

Karena itu, Anggus meminta agar ia bersama ibunya, dapat ikut dengan Hercules ke Jayapura, demi menyelamatkan diri keluar dari Kabupaten Jayawijaya. “Orang-orang sudah dibunuh di sini,” kata Anggus.

Sejak kerusuhan 23 September, sampai Senin (14/10), kata dia, ratusan orang Toraja di Wamena, mengungsi ke Tongkongan. Pada Ahad (13/10), saat Republika menyambangi Tongkongan, masih ada sekitar 537 orang Toraja di situ.

Akan tetapi, pada Senin (14/10) petang, Aster Kodim 1702 Wamena, Kapten Afandi mengabarkan jumlah pengungsian di Gedung Tongkongan hanya menyisakan 24 orang. “Di situ memang tempat mengungsi keluarga-keluarga kita di sini (Wamena) yang berasal dari Toraja,” ujar Afandi kepada Republika.

Namun, ia menerangkan, pada Senin (14/10), sebagian warga asal Toraja yang mengungsi di Gedung Tongkongan, sudah pulang kembali ke rumah masing-masing di Wamena. Namun di pos-pos penampungan lain, ia menerangkan, jumlah pengungsi di Wamena masih tercatat sekitar 405 orang.

“Yang mengungsi di Wamena ini, warga-warga yang masih merasa takut untuk pulang ke rumahnya,” ujar Afandi.

Di Kodim 1702, pengungsi masih tercatat 147 orang, di Koramil Wamena, ada 20 orang. Di Masjid LDII 71 orang, dan di Masjid Pasar Baru 32 orang. Pengungsian di Polres Jayawijaya juga masih tercatat 43 orang, sedangkan di Gereja Advent dan Gereja el-Shadday ada 26 orang. Pos pengungsian baru, pun tercatat ada di Gedung Basda dengan menampung sebanyak 18 orang.

“Yang mengungsi itu, bukan cuma warga pendatang. Warga yang asli (Papua) juga ada. Mereka masih takut untuk pulang ke rumah,” sambung Afandi.

Sedangkan pengungsi yang kembali ke Wamena, masih tercatat di angka 479 orang, dari 17.393 warga yang eksodus. Ketakutan warga asli, pun dialami oleh Mama Makda, dan kerabatnya Mama Lusi.

Keduanya ditemui Republika di Lanud Manahua, Wamena Senin (14/10). Keduanya, bersama keluarga memilih keluar dari Wamena dengan pesawat Hercules, untuk bisa pergi ke kerabat yang ada di Nabire.

“Takut kerusuhan. Anak-anak banyak. Semua orang takut,” ujar Mama Makda.

Mama Lusi yang mengaku tinggal di Jalan Patimurra, Wamena, sudah tak lagi tinggal di rumah sendiri dan memilih tidur bersama pengungsi di gereja. Akan tetapi, keinginan Mama Makda dan Mama Lusi untuk bisa keluar Wamena, pun terhalang dengan penerbangan Hercules yang tak ada ke Nabire, pun karena tak memiliki surat izin keluar Wamena.

Sebetulnya, ketakutan warga belakangan ini, tampak dari keseharian. Wamena kota di salah satu cekungan di barisan pegunungan Jayawijaya yang bercuaca dingin, antara 8-14 derajat Celsius.

Kondisi itu membuat warga saban harinya mengenakan jaket tebal. Setelah kerusuhan, dan aksi penikaman kebanyakan warga kerap membawa golok, atau belati, atau senjata pembela diri lainnya, yang diselipkan di dalam jaket. Bahkan, seorang tentara yang sedang tak berpakain dinas sekalipun, selalu membawa golok yang sengaja diselipkan di dalam jaket.

“Di sini (Wamena), kita nggak tahu siapa kawan siapa lawan. Nggak kelihatan. Tiba-tiba dibacok saja,” kata seorang personel TNI di Kodim 1702.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement