REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengkritisi pemberhentian Kolonel Kavaleri Hendi Suhendi sebagai Komandan Kodim (Dandim) 1417/Kendari. Ia menilai, ada reaksi yang berlebihan dalam proses pencopotan tersebut.
"Apakah diskriminatif? Saya kira ini lebih tepat disebut sebagai reaksi berlebihan, melampaui prosedur yang diatur oleh undang-undang. Mengapa? Karena dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tanpa pemeriksaan yang cukup, dan kurang mengindahkan asas praduga tidak bersalah yang jelas diatur dalam undang-undang," ujar Khairul saat dikonfirmasi Republika, Ahad (13/10).
Fahmi menilai, sikap reaktif itu tidak tepat dilakukan TNI sebagai salah satu institusi negara. Meski di sisi lain, masalah moral dan etika yang diduga menjadi pangkal persoalan juga tidak dapat dibenarkan. "Saya kira nggak tepat dilakukan oleh sebuah institusi negara," kata dia.
Fahmi mengatakan, proses pencopotan itu dilakukan sebelum ada upaya penegakan hukum apa pun yang dilakukan terhadap terduga pelaku istri Hendi, Irma Zulkifli Nasution. Sehingga, kata Khairul, kondisi ini menyebabkan spekulasi berkembang terkait apa yang sesungguhnya terjadi. Hal itu juga menjadi solusi yang keliru terkait problem etika di media sosial.
Khairul menilai, tidak ada tanggung renteng dalam hukum kecuali untuk urusan utang-piutang. "Walau pun hukuman itu dianggap sebagai konsekuensi tanggung jawab moral seorang suami yang merupakan perwira TNI, bagaimanapun si istri ini sipil dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya. Termasuk hak politik dan kebebasan berekspresi.
"Jika ekspresinya dinilai melanggar hukum atau etika moral, ya memang wajar saja ada upaya hukum," kata dia. Jika istri Kolonel Hendi, kata Fahmi, dianggap melanggar hukum, si istrilah yang menanggung perbuatannya.
Irma Zulkifli Nasution Hendari, istri mantan Komandan Kodim 1417 Kendari Kolonel Kav Hendi Suhendi, menangis usai Upacara Sertijab Komandan Kodim 1417 Kendari di Aula Tamalaki Korem 143 Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (12/10/2019).
Pencopotan Kolonel Hendi bermula saat sang istri, Irma Zulkifli Nasution, mengunggah status di media sosial terkait peristiwa penusukan Menko polhukam Wiranto. Irma sendiri terancam proses peradilan umum atas dugaan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pada Jumat (11/10), Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa mengumumkan pencopotan Kolonel HS dan Sersan Dua Z. Keduanya mendapatkan hukuman disiplin pemberhentian dari jabatan dan sanksi militer berupa penahanan ringan selama 14 hari. Hendi dan Z dianggap melanggar UU No mor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer.
Hendi mulai menjalani proses hukuman disiplin sejak Sabtu (12/10). Karena kondisi tempat penahanan Korem 143 Haluoleo, Hendi dititipkan ke Denpom Kendari. "Jadi dititipkan di Denpom. Prinsipnya kalau disiplin itu kan di satuan itu sendiri. Kalau POM itu pidana. Jadi istilahnya titipan (tahanan)," kata Kapendam XIV Hasanuddin, Kolonel Maskun Nafik, kemarin.
Kepala Penerangan Komando Pendidikan dan Latihan TNI AD Letnan Kolonel Kavaleri Christian Rambu mengatakan, Sersan Dua Z juga tengah menjalani hukuman penahanan fisik sejak Sabtu (12/10). Penahanan dilakukan dalam kompleks Markas Komando Detasemen Kavaleri Berkuda Komando Pendidikan dan Latihan TNI AD, Kabupaten Bandung. "Ini masuk hukuman pidana ringan dalam hukum militer. Tidak ada pemberhentian (kepada Serda Z)," kata Rambu, kemarin.
Selain keduanya, anggota POM AU Lanud Muljono Surabaya, Peltu YNS juga terancam mendapat sanksi serupa. "Saat ini masih dibebastugaskan sementara sambil menunggu keputusan pimpinan untuk dilakukan hukuman disiplin. Pimpinan akan secepat mungkin memutuskan," ujar Komandan Lanud Muljono Surabaya Kolonel Pnb Budi Ramelan, Sabtu (12/10). (dian erika nugraheny/ronggo astungkoro, ed:ilham tirta)