Ahad 13 Oct 2019 05:09 WIB

Ada Minyak Goreng Curah di Balik Gorengan Crunchy

Pemerintah tidak bisa menjaga kontinuitas pasokan minyak kemasan.

Nidia Zuraya
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan melarang peredaran minyak goreng curah mulai Januari 2020. Pernyataan Mendag Enggartiasto Lukita ini membuat pedagang gorengan di pinggir-pinggir jalan resah.

Jeni (45 tahun), penjual gorengan di Kawasan Pejaten Raya, Jakarta Selatan, mengaku bisa menghabiskan empat kilogram (kg) minyak untuk menggoreng semua bahan baku. Jika harus beralih menggunakan minyak goreng kemasan, menurutnya, biaya produksi bisa bertambah sekitar  Rp 4.000 hingga Rp 6.000 per hari

Perhitungan Jeni didasarkan harga rata-rata penjualan minyak goreng di pasaran. Minyak goreng curah kini dijual rata-rata di angka Rp 12.000 per kg. Sedangkan minyak kemasan dijual di kisaran Rp 24.000 per dua liter. Satu liter minyak jika dihitung dalam kilogram, maka hanya seberat 0,9 kg.

Permintaan minyak goreng curah di Indonesia masih tinggi. Selain pedagang gorengan pinggir jalan, warteg hingga warung makan skala rumahan menjadi konsumen setia minyak goreng curah.

 

Menurut data gabungan industri minyak nabati Indonesia (Gimni), kapasitas produksi minyak goreng di Indonesia mencapai 54 juta ton per tahun. Dari total tersebut, hanya 3,4 juta ton minyak goreng jenis curah yang diproduksi.

Sebagai ganti minyak goreng curah, pemerintah menginginkan agar industri segera mengisi pasar dengan kemasan sederhana dan mematuhi Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 11.000 per liter. Kemasan-kemasan ini terdiri dari kemasan yang kecil dan ekonomis hingga yang besar, mulai dari 200 ml sampai 1 liter.

Sejak April 2017, Kemendag telah mewajibkan ritel modern untuk menjual minyak goreng dengan harga sesuai HET ini. Namun dalam praktiknya, aturan HET ini tidak berjalan.

Sementara kalangan produsen minyak goreng wajib memproduksi minyak goreng dalam kemasan sederhana sebanyak 20 persen dari total produksi mereka. Kewajiban domestic market obligation (DMO) 20 persen ini berlaku sejak Januari 2018.

Selain menetapkan DMO, saat itu Kemendag juga mewajibkan produsen untuk memproduksi tiga jenis minyak goreng kemasan sederhana, yakni kemasan satu liter, kemasan setengah liter dan kemasan seperempat liter. Minyak goreng kemasan satu liter harus dijual ke konsumen dengan harga maksimal Rp 11.000, kemasan setengah liter Rp 6.000 dan kemasan seperempat liter Rp 3.250.

Minyak goreng kemasan sederhana ini diberi label Minyakita. Saat itu, pemerintah menunjuk 24 produsen minyak goreng di Indonesia, mulai PT Salim Ivomas, PT Smart Tbk dan PT Wilmar Group, untuk memproduksi Minyakita.

Lagi-lagi, kewajiban DMO 20 persen ini sepertinya tidak terlaksana sesuai harapan awal, yakni menyediakan minyak goreng kemasan yang mudah diakses dan tidak memberatkan para pengguna minyak curah.

Tidak seperti minyak goreng curah yang mudah didapatkan hingga di pelosok-pelosok desa, distribusi Minyakita masih terbatas. Bahkan hari ini, produk Minyakita ini sulit ditemukan di pasar-pasar tradisional maupun ritel modern. Kalaupun masih ada pedagang yang menjualnya, harga yang dibanderol sama dengan minyak goreng kemasan premium.

Ketidakmampuan pemerintah untuk menjaga kontinuitas pasokan Minyakita di masa lalu, mungkin menjadi alasan pemerintah akhirnya menarik ucapannya untuk melarang peredaran minyak goreng curah mulai tahun depan. 

Bagi pedagang gorengan pinggir jalan, tentunya hal ini menjadi kabar yang menggembirakan. Karena, bagaimanapun minyak goreng curah sepertinya masih menjadi resep rahasia di balik garing, renyah dan crunchy-nya gorengan pinggir jalan.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement