Sabtu 12 Oct 2019 04:45 WIB

Minyak Curah versus Minyak Kemasan

Minyak kemasan dianggap lebih jelas kehalalan dan kesehatannya.

Friska Yolandha
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolanda*

Awal pekan ini Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengumumkan larangan peredaran minyak goreng curah di pasar mulai Januari 2020. Alasannya, minyak goreng curah tidak terjamin halal dan kebersihannya.

Keputusan ini membuat ragam komentar di dunia maya. Ada yang sepakat ada pula yang tidak.

Kebersihan memang menjadi prioritas, apalagi untuk sesuatu yang akan dimakan dan diolah organ tubuh. Dengan gerakan hidup sehat yang kini tengah gencar dilakukan banyak orang, kebersihan makanan dan bahan makanan hukumnya fardhu ain. Minyak goreng curah tidak jelas asal muasalnya. Bahkan, beberapa pelaku hidup sehat sudah meninggalkan minyak goreng sawit dan beralih ke minyak yang lebih sehat atau bahkan tidak mengonsumsi minyak sama sekali.

Namun, ada pula yang menentang larangan ini. Suara ini sebagian berasal dari pedagang, terutama mereka yang dagangannya bergantung pada minyak seperti penjual gorengan atau warung pecel lele.

Larangan minyak goreng curah akan membebani cost production mereka. Harga minyak goreng curah dinilai lebih murah dibandingkan minyak goreng kemasan.

Minyak goreng kemasan dijual dengan harga eceran tertinggi Rp 11 ribu per liter, sementara minyak goreng curah bisa lebih murah dari itu. Kenapa bisa murah? Karena minyak goreng curah tidak mengeluarkan biaya untuk pengemasan.

Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan biaya untuk pengemasan bisa mencapai 12 persen dari harga jual minyak. Artinya, harga minyak goreng curah bisa 12 persen lebih rendah dari minyak kemasan, atau bahkan lebih rendah dari itu.

Selain itu, minyak goreng curah tidak diperjualbelikan di pasar modern. Minyak curah lebih banyak ditemukan di pasar tradisional, yang artinya rantai distribusinya bisa lebih pendek dari minyak kemasan.

Di tengah polemik minyak curah versus minyak kemasan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta pada Mendag Enggar agar larangan ini dibatalkan. Tidak disebutkan alasan pembatalannya, mungkin supaya tidak berlarut-larut.

Sebetulnya, ide larangan itu sangat baik dan sejalan dengan jargon  Kementerian Kesehatan: gerakan masyarakat sehat (germas). Apalagi, kalau ternyata minyak curah diketahui oplosan minyak jelantah, sejumlah penyakit akan mengintai, seperti kolesterol bahkan kanker. Amit-amit.

Dengan bahan makanan yang higienis, maka kesehatan masyarakat pun lebih terjamin. Potensi sakit karena mengonsumai makanan (minyak) yang tidak sehat akan menurun, BPJS Kesehatan bisa bernapas lega. Eh..

Namun, jika larangan itu jadi diberlakukan, bagaimana dengan masyarakat yang memang hanya sanggup membeli minyak goreng curah? Minyak curah jadi alternatif untuk masyarakat menengah ke bawah. Kalau sudah tidak boleh dijual di pasar, apa alternatif yang bisa diberikan pemerintah untuk menggantikan minyak curah?

Apakah pemerintah mau menurunkan harga minyak kemasan atau memaksa kita membeli dengan harga yang lebih mahal?

Daya beli saat ini sudah turun karena kelesuan global. Kini, pemerintah seperti mengeluarkan aturan tanpa solusi yang dapat diterima pihak dari berbagai golongan.

Saat cabai mahal dan sulit didapat, pemerintah mengimbau warga menanam cabai. Saat minyak curah hilang diganti kemasan dan harganya mahal, apakah kita warga diimbau untuk memproduksi minyak sendiri?

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement