Kamis 10 Oct 2019 10:17 WIB

Arteria Dahlan, Emil Salim, dan Krisis Budi Pekerti

Tindakan Arteria sangat tidak elok dan jauh dari karakter budi pekerti bangsa.

Anggota DPR yang juga politikus PDIP, Arteria Dahlan (kiri) saat berdebat dengan Prof Emil Salim di acara Mata Najwa yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta.
Foto: Tangkapan Layar
Anggota DPR yang juga politikus PDIP, Arteria Dahlan (kiri) saat berdebat dengan Prof Emil Salim di acara Mata Najwa yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, wartawan Republika

Pagi ini, saya melihat sebuah tayangan yang betul-betul menyentak emosi, perasaan, serta rasa kemanusiaan. Tayangan itu adalah sebuah diskusi yang menampilkan seorang politikus muda sekaligus anggota DPR yang terhormat, Arteria Dahlan dengan sesepuh bangsa, Emil Salim.

Baca Juga

Dalam diskusi itu, Arteria yang usianya jauh lebih muda itu menunjuk, mencecar, dan berbicara dengan nada tinggi kepada orang yang secara usia nyaris menginjak 90 tahun. Beragam reaksi bermunculan di ruang publik atas diskusi itu. Sebagai manusia, rasanya kita semua sepakat bahwa tindakan Arteria sangat tidak elok dan jauh dari karakter budi pekerti bangsa yang berlandaskan Pancasila.

Pancasila bukan sekadar jargon yang dipekikikkan. Tidak ada artinya meneriakkan Pancasila harga mati, tapi tak pernah mempraktikkan nilai Pancasila dalam berpilaku.  Sebab Pancasila bukanlah jargon melainkan seperangkat gagasan yang dituangkan dalam kehidupan berbangsa, mulai dari level tertinggi (negara) hingga terendah (individu).

Apa yang tergambar di televisi malam itu sejatinya merupakan cermin minor yang bangsa kita. Sadar atau tidak bangsa ini sedang mengalami degradasi budi pekerti. Kita sedang mengalami krisis kehangatan dalam berbangsa. Sebaliknya, kebencian, kekerasan, dan perseteruan seperti mendapat panggung utama.

Hitungan tahun berganti, kita tak hentinya disuguhi aksi saling hujat, saling umpat, dan minus rasa hormat. Lantas apa sebenarnya pangkal dari krisis budi pekerti ini? Jawabannya hanya satu kata, "empati".

Krisis empati yang menjadi pangkal masalah yang akhir-akhir ini melanda Indonesia maupun dunia. Tanpa empati, seseorang jadi hidup dengan kacamata kuda. Melihat lurus pada preferensinya sendiri, tanpa peduli siapa yang sedang kita ajak berdiskusi.

Krisis empati membuat seseorang hanya memikirkan pandangannya tanpa peduli perasaan orang di sekelilingnya. Tanpa empati, setiap orang merasa berhak berkata atau mengunggah apapun di sosial media. Tanpa empati orang berhak memfitnah, menebar hoax, hingga mencerca.

Problem empati ini dirasakan Indonesia sejak era reformasi 1998. Pasca-keran kebebasan terbuka, semua merasa punya hak untuk berbicara, tanpa sadar adanya kewajiban untuk menjaga perasaan orang lain yang berbeda.

Pada 1801 seorang Thomas Jefferson sudah lebih jauh menyadari pentingnya empati di atas kebebasan dan demokrasi. Jefferson berpandangan bahwa rasa empati yang memuat kasih sayang harus selalu berada di atas kebebasan.

“Mari kita memulihkan hubungan sosial yang harmonis dan kasih sayang, tanpanya kebebasan dan bahkan kehidupan itu sendiri hanyalah hal-hal yang suram,” ujar Jefferson dalam pidato inaugurasinya.

Seperti dikatakan Jefferson, tanpa empati kebebasan berdemokrasi, berekspresi, atau berbicara malah bisa berujung perpecahan. Tanpa empati, demokrasi akan diekspresikan orang per orang dengan penuh sentimen. Yang satu pandangan politik akan dianggap baik dan selalu benar. Sedangkan yang pandangan politiknya berbeda akan dianggap jahat dan selalu salah.

Tanpa empati, setiap orang jadi merasa bebas mengekspresikan kebenciannya. Tanpa empati, orang-orang akan menjadikan hak berbicaranya untuk menghina martabat orang lain.

Semua fenomena ini harus dihentikan. Saatnya kita menempatkan empati kita sebagai manusia di atas pandangan politik atau pribadi.

Semua punya kewajiban untuk berempati. Pemimpin politik haruslah mengedepankan komentar yang empatik di depan publik. Pemimpin politik haruslah menebar kata-kata yang sejuk, bukan justru menyebarkan diksi-diksi tuna budi pekerti, apalagi kepada orang yang lebih tua.

Pun halnya Anda yang berstatus ulama, cedikiawan, tokoh publik, maupun pembesar negeri.  Jangan hanya memikirkan kebebasan berkomentar di depan publik, tanpa kewajiban untuk menjaga perasaan orang yang berbeda pandangan. Sebab tanpa itu, para tokoh itulah yang akhirnya membuat bangsa ini semakin dalam terjebak pada narasi kebencian.

Sudahilah bahasa-bahasa yang tidak simpatik. Toh, kritik dan pujian tentu tetap bisa disuarakan dengan bahasa wajar dan tak provokatif atau menyakiti hati. Sebab seperti itulah sejatinya budaya bangsa kita sesungguhnya. Budaya penuh budi pekerti, penuh empati, tepo seliro, dan tenggang rasa yang kini menjadi bahan pelajaran dunia, tapi justru mulai dilupakan di Indonesia.

Tak ada artinya jargon Pancasila jika dalam berpilaku tunahormat kepada sesama manusia. Mengakhiri tulisan ini, saya akan mengutip sebuah kisah di negeri antah berantah.

Syahdan, di sebuah negeri, seorang sepuh terlibat perbincangan hangat dengan seorang pejabat muda di sebuah negara. Pria sepuh membuka perbincangannya dengan sebuah kata tanya kepada sang pejabat.

"Jika boleh memilih, mana yang anda lebih inginkan, harta atau budi pekerti? tanyanya.

Kontan pejabat itu menjawab, "Jelas budi pekerti."

Si pejabat pun balik bertanya, "kalau Anda?"

Dengan mantab pria sepuh itu menjawab, "Saya pilih harta!"

Dipenuhi rasa heran, sang pejabat mempertanyakan alasan orang yang telah sepuh itu memilih harta dibanding budi pekerti?

Sang pria sepuh itu pun menjawab, "Adalah wajar bila seseorang menginginkan apa yang belum dimilikinya."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement