REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono
Rezeki dapat dicari, tetapi nyawa memang tak bisa diganti. Itu kiranya pikiran umum para pengungsi korban kerusuhan Wamena. Mereka gamang. Takut untuk kembali.
Upaya pemerintah meyakinkan mereka agar kembali ke Kabupaten Jayawijaya, Papua sepertinya tak mempan. Pulang kampung, mereka anggap penentram sementara. Momen jeda. Berpikir sebelum adanya jaminan tak mati jika kembali.
Isnawati, seorang pengungsi Wamena asal Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel). Ia beranak empat. Sudah lebih dari delapan tahun ia merantau ke Wamena. Suaminya, kuli bangunan, sementara ia menjadi ibu rumah tangga.
Insiden 23 September di Wamena, memaksanya meninggalkan rumah. Awalnya cuma mengungsi bersama kerabat serumpun di kantor polisi. Puluhan ribu eksodus, menyertakan dirinya dalam rombongan ke Sentani.
“Sudah dua minggu (pekan) ngungsi (di Sentani),” kata dia saat dijumpai Republika, di Sentani, Rabu (9/10).
Ia bersama 500-an pengungsi asal Palopo lainnya, punya paguyuban. Namanya Kerukunan Bijatoluwu. Di Sentani, paguyuban ini saling bahu membahu menampung dan memberikan makan ratusan warga korban ricuh di Wamena. Mereka punya keinginan serempak untuk pulang.
“Pulang (kampung) sajalah dulu. Trauma kami. Tidak aman di sana (Wamena). Nanti kalau sudah aman, kami naik lagi (kembali ke Wamena),” ujar dia.
Suami Isnawati, sekarang ini masih di Wamena. Tetapi bakal menyusul pulang kampung ke Palopo. Majikan suami belum bayar gaji bulanan. Situasi itu yang membuat ia harus pisah sementara dengan suami.
“Ini anak-anak paling penting. Mereka harus sekolah. Sudah tidak ikut ujian,” kata Isnawati.
Anak pertamanya, Muhammad Asril kelas 1 SMP, Nurfadilah 5 SD, dan Muhammad Aksal 3 SD. Paling bontot usia dua tahun yang belakangan sering mengalami sakit perut. Si sulung mengatakan, sejak kerusuhan, ia tak sekolah. Padahal, Senin (7/10) digelar ujian tengah semester.
“Sudah ada pemberitahuan, anak-anak pengungsi, bisa pindah sekolah di Palopo,” kata Isnawati.
Ia pun mengatakan, anak-anaknya ikut trauma. Karena saat kerusuhan, rumah kontrakan yang mereka tempati, ikut menjadi sasaran lemparan-lemparan.
“Tidak dibakar. Dilempari. Tetapi rusak setengah,” terang Isnawati.
Pengalaman itulah yang membuat Isnawati mengatakan, untuk tak kembali ke Wamena. Keyakinan itu semakin menguat karena kabar berantai di sejumlah grup para pengungsi, kata dia, tersiar tentang situasi pembunuhan dan perampokan yang masih terjadi di Wamena.
“Tidak aman. Tidak aman di sana (Wamena),” kata Isnawati.
Suasana pengungsi di Sentani, Jayapura, Rabu (9/10).
Seorang ibu muda bernama Warni, pun memutuskan yang sama. Warni punya bayi yang baru berusia dua bulan dan terpaksa mengungsi ke Sentani.
Suaminya seorang supir, yang juga masih tertahan di Wamena. Tetapi tak ada keinginan Warni, untuk kembali lagi ke Wamena.
“Tidak mau (kembali ke Wamena). Takut. Saya pulang (kampung) saja,” kata dia.
Erna Nipti, pun mengungsi karena perintah suami yang saat ini juga masih berada di Wamena. Perempuan 40-an tahun itu, juga belum berencana kembali ke Wamena.
Ospiana Lisut juga berada dalam rombongan pengungsi di Posko Palopo. Gadis ini beda dari ibu-ibu pengungsi lainnya. Statusnya sebagai mahasiswa semester lima di YAPIS Wamena, memaksanya menanam keyakinan agar kota tempat ia merantau bisa kembali pulih dan aman.
“Kalau sudah aman nanti saya ke sana (Wamena) lagi,” ujar dia.
Ospiana, juga seorang pegawai di rumah makan milik seorang pendatang asal Sumatera Barat (Sumbar). Kerusuhan 23 September, meratakan tempat ia kerja, pun memaksa majikannya mengungsi ke Jayapura. Perintah orang tua yang membuat Ospiana pulang kampung sementara.
Mala Dewi, seorang nenek asal Palopo. Ia sudah lebih dari 20 tahun merantau ke beberapa kota di Papua. Di Wamena, ia pernah lama sebelum menetap di Sentani bersama tujuh anaknya.
Mala salah satu senior dalam Kerukunan Bijotuluwu yang mengurusi kebutuhan para pengungsi dari sesama Palopo. Ia mengatakan, sebetulnya para pengungsi, termasuk dirinya akan kembali ke Wamena. Tetapi, itu jika ada jaminan rasa aman.
“Semua kita di sini (Wamena - Papua) cari rezeki, cari kehidupan toh. Tetapi kalau tidak aman, siapa yang punya nyawa? Biarlah kami minggir dulu kalau tidak aman,” kata dia.
“Rezeki bisa dicari lagi. Kalau nyawa, cuma sekali saja,” sambung dia.
Pikiran untuk tak kembali, pun dikatakan pengungsi di lokasi penampungan lainnya. Di Masjid Raya al-Aqsha, Sentani, ada sekitar 300-an pengungsi dari berbagai wilayah. Kebanyakan memang dari Jawa.
Suparlin, Hasan Basri, dan Yusron Taufik, beberapa tukang ojek asal Probolinggo, Jawa Timur (Jatim) yang menjadikan Wamena sebagai tanah rezeki. Suparlin yang paling senior. Ia sudah mengalami dua kali insiden maut di Wamena.
“Yang ini paling ngeri. Lebih parah dari yang 2000 (tragedi Wamena)” kata dia. Kengerian itu yang membuat ia, memutuskan untuk tak akan kembali.
“Saya mau kembali tapi kalau Bapak Presiden Jokowi, Bapak Wiranto, bapak-bapak yang di Jakarta itu ke sana (Wamena). Kalau bapak-bapak itu ke sana, ya pasti aman. Kalau sudah pulang, kami ini yang jadi korban,” kata Suparlin.
Laki-laki 60-an tahun itu menceritakan, dirinya bersama dua rekannya sesama tukang ojek itu, terpaksa mengungsi tanpa sempat membawa apapun selain pakaian yang ada saat kerusuhan terjadi. Sementara rumah kontrakan bersama, dan motor para pengojek lainnya, hangus terbakar.