Kamis 10 Oct 2019 04:30 WIB

Entah Apa yang Merasukimu

Pendengung dari pihak pemerintah mengekspos wajah anak-anak yang demonstrasi.

Reiny Dwinanda, wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Reiny Dwinanda, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Ketika akan menuliskan ini, saya harus menggali ingatan tentang peristiwa apa yang kemarin-kemarin menyita perhatian masyarakat. Akhirnya, saya ingat. Ini soal pelajar yang ikut berunjuk rasa.

Malu saya sampai bisa lupa dengan hal tersebut. Betapa pendeknya ingatan saya, padahal kejadiannya belum lama berselang. Kalau boleh mencari-cari alasan, saya akan menyebut bahwa terlalu banyak berita yang datang beruntun setelahnya, sebut saja kerusuhan Wanena di Papua, penangkapan dosen IPB, dan dugaan penculikan hingga penganiayaan buzzer Jokowi, Ninoy  Karundeng. Itulah yang mengalihkan perhatian saya hingga terlupa akan para pelajar yang mendapatkan sekaligus memberikan pengalaman baru terhadap alam demokrasi Indonesia.

Saya terus terang kecewa melihat video demi video yang memperlihatkan wajah anak-anak muda itu disebar ke media sosial oleh pendengung dari kalangan pemerintah. Di rekaman itu, mereka diwawancarai tentang alasannya ikut berdemonstrasi.

Duh, bukankah kita seharusnya melindungi anak dari ekspose semacam itu? Saya sedikit lega ketika ada juga psikolog yang berteriak soal pengungkapan identitas anak. Tapi, bagaimanapun konten itu telah menyebar luas dan jejak digitalnya akan abadi di internet. Apakah kita punya hak untuk dilupakan di dunia maya untuk kasus-kasus seperti ini?

Kembali ke video tadi, anak yang ditanyai kemudian mengaku dijanjikan uang sekitar Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu kalau ada di barisan demonstran. Anak lainnya mengaku ikut-ikutan, diajak teman melalui aplikasi perpesanan instan serta media sosial.

Video lain kemudian dirilis pascapenangkapan. Kali ini perekam video berusaha menanyakan respons para orang tua dan kerabat terhadap anak-anaknya yang terjaring karena demo.

Lantaran melontarkan pertanyaan tertutup, penanya justru terdengar seperti berusaha mengarahkan jawaban bahwa mereka menyesal anaknya ikut demonstrasi, itu menyusahkan keluarga, dan keluarga berharap anaknya jera. Si penanya lalu menepis keraguan salah satu ayah dari mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang mengatakan kemungkinan anaknya dicokok meski tak bersalah. Sang ayah menyampaikan bahwa kabarnya anaknya justru diamankan saat dalam perjalanan pulang. Si penanya langsung membantah, mengatakan bahwa polisi pasti punya bukti.

Sepintas, itu terdengar seperti: polisi absolut benar. Penggalan reffrein lagu "Salah Apa Aku" milik ILIR 7 yang belakangan viral jadi terngiang di telinga saya: Entah Apa yang Merasukimu...sampai sebegitu cerobohnya mencederai hak anak untuk dilindungi. Sampai all out banget menyudutkan anak lewat wawancara demi wawancara video tersebut.

Sudah, sudahlah. Kita seharusnya ingat bahwa setiap orang dewasa punya peran untuk mendidik anak. Peribahasa Afrika bilang, "it takes a village to raise a child." Artinya, seluruh komunitas harus berperan untuk mendidik dan menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi tumbuh kembang anak.

Tentu, ada catatan pula bagi orang tua dan guru. Mereka harus tahu di mana anak-anaknya berada dan sigap mengenali keresahan anak agar bisa memberikan pengasuhan, pendampingan, dan fasilitas yang tepat bagi anak untuk menyalurkan aspirasinya.

Sedih rasanya mendengar penuturan salah seorang bibi yang keponakannya ikut diciduk. Usai anak tersebut dilepas, orang tua memeriksakannya ke dokter. Ada lebam tampak di ujung kelopak matanya dan benjol di dahi yang disebut keluarga sebagai akibat dari kekerasan polisi. Anak itu susah buka mulut untuk makan. Dia juga mengalami nyeri di bagian dada dan punggung. Terlepas dari isu yang mempertanyakan independensi pelajar, pemahaman mereka terhadap isu yang diprotes keras, serta keonaran yang terjadi, dalam kasus ini anak sejatinya merupakan korban.

Menurut sang bibi, pihak keluarga baru mengetahui anaknya ada di kantor polisi setelah dua hari satu malam mencari-cari. Soal anak yang ditahan, UNICEF pun sampai mengingatkan bahwa itu seharusnya menjadi pilihan terakhir. Penahanan tak boleh lebih dari 24 jam.

Menurut UNICEF, hak anak dan remaja Indonesia untuk mengekspresikan diri dan terlibat dalam dialog tentang masalah yang memengaruhi mereka haruslah dihormati, sebagaimana itu telah diakui dalam kesepakatan tingkat dunia, yakni Konvensi PBB tentang Hak Anak. Hak itu juga dibayangi oleh selentingan pencabutan fasilitas Kartu Jakarta Pintar, kabar yang kemudian dibantah. Lalu, ada pula ancaman tak akan diberikan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) terhadap pelajar yang terlibat demonstrasi berujung aksi anarkistis di Gowa, Sulawesi Selatan dan Medan, Sumatra Utara.

Ketika mengancam dianggap mendidik, anak-anak akan tumbuh menjadi individu yang tak percaya diri, terbiasa diancam sebelum melakukan sesuatu yang seharusnya dia lakukan dengan kesadaran penuh, atau bahkan menjadi pemberontak. Itukah yang kita inginkan?

*) penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement