Rabu 09 Oct 2019 04:00 WIB

Glorifikasi Anak STM dan Kenyataan yang Dihadapi Mereka

Tingkat pengangguran terbesar masih ditemui SMK

Ichsan Emrald Alamsyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald*

Mereka bisa bergerak taktis walau tanpa komando. Mereka tahu waktu tepat menyerang lawan dan saatnya bergerak mundur. Mereka melakukannya dengan naluri bukan perintah.

Begitu aparat kepolisian menembakkan gas air mata, mereka siap melempar balik. Itulah yang kita lihat beberapa waktu lalu lewat layar kaca dan media.

Ketika  mahasiswa dipukul mundur oleh aparat kepolisian, justru mereka para siswa sekolah menengah yang rata-rata disebut berasal dari kejuruan (SMK) maju. Mereka terglorifikasi dan disebut-sebut di berbagai media sosial.

Mereka yang selama ini mengisi halaman-halaman koran lokal dengan cerita negatif, tiba-tiba menjadi pahlawan dalam semalam. Ketika para mahasiswa mengadu ke sana kemari karena terancam di-Drop Out, anak-anak ini tidak gentar.

Bahkan mereka tidak peduli bila Kartu Jakarta Pintar (KJP) mereka dicabut. Soal ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah membantahnya.

Anies menyebut tidak mungkin DKI mencabut KJP anak-anak ini. Alasannya mereka, anak-anak STM ini berasal dari kelangan ekonomi menengah bawah. Lagipula Pemerintah bertanggung jawab memastikan setiap anak usia sekolah mendapatkan pendidikan hingga tuntas.

Soal ucapan Anies ini, meski terkesan hanya lips service namun mengandung pesan mendalam. Pesan itu adalah kebanyakan siswa SMK memang bukan berasal dari kalangan menengah atau menengah atas.

Mereka memang bebas merdeka namun begitu masuk dunia nyata, bisakah mereka bertahan? Mereka memang hebat di lapangan, namun bagaimana dengan dunia kerja di depan mereka?

Apalagi ada kenyataan miris bahwa mereka penyumbang terbesar pengangguran di Indonesia.  Berdasarkan data BPS, Tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) per Februari 2019 mencapai 8,63 persen. Angka tersebut mendominasi dibanding dengan tingkat pendidikan lain, seperti Diploma I/II/III sebesar 6,89 persen dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 6,78 persen.

Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono beberapa waktu lalu sempat menyatakan tingkat pengangguran terbesar masih ditemui SMK karena kualitas lulusan dengan kebutuhan industri belum mencapai titik temu yang maksimal.

Artinya entah kualitas anak SMK atau STM yang terlalu bagus, tidak pas dengan yang diinginkan industri atau minta gaji ketinggian. Akan tetapi penulis lebih yakin kepada kebutuhan industri yang tidak bisa dicapai oleh kualitas lulusan SMK.

Walau persentase tersebut mengalami penurunan dibanding dengan 2018, tetapi tetap saja mengkhawatirkan. Alasan tentu sudah jelas, yaitu lulusan terbesar  berasal dari SMK dan SMA. Bila mereka tidak dapat pekerjaan maka secara tidak langsung menganggu perekonomian.

Sebenarnya Pemerintah tudak berpangku tangan mengetahui hal. Pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga membantu memfasilitasi peningkatan kualitas lulusan SMK untuk mendapatkan pekerjaan di industri. Di sisi lain, pihak pengusaha dibantu mendapatkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Jemput bola

Cuma sebenarnya usaha tidak boleh berhenti disitu, Pemerintah daerah mulai dari atas hingga level RT-RW sepatutnya turun tangan.

Mereka sepatutnya perlu tahu bila ada warga mereka yang masih luntang-lantung tidak bekerja. Jemputlah bola, tanyakan kepada mereka, anak SMK yang tidak bekerja, kemampuan dan kecakapannya.

Bila kemampuannya dirasa belum cukup, maka buka pintu Balai Pelatihan Kerja lebar-lebar. Undang lulusan-lulusan SMK ini untuk ikut pelatihan.

Jauh lebih baik lagi bila Pemerintah provinsi mendorong anak-anak ini untuk membuka lapangan kerja. Soal dana, di sinilah perlunya Bank Pembangunan Daerah turun tangan memberikan kredit atau pembiayaan bila memilih syariah.

Tentu dengan bunga amat rendah agar lulusan SMK ini tidak terjerat lintah darat, baik lintah yang berkeliaran maupun yang online (pinjaman online).

Selanjutnya ajari mereka cara mempromosikan usaha, khususnya membuat laman daring. Promosi lewat daring saat ini sedang menjadi trend dan terbukti sedikit lebih efektif.

Yakinlah dengan cara ini, pemerintah baik pusat maupun daerah bukan hanya mengentaskan pengangguran tetapi membuka lapangan kerja baru. Sehingga saat yang dibutuhkan cuma satu, yaitu goodwill alias keinginan baik.

Seperti yang selalu diucapkan Presiden Jokowi, "Dananya ada, uangnya ada tinggal kita mau bekerja atau tidak,"

*) Penulis wartawan Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement