Rabu 09 Oct 2019 04:45 WIB

Hanura Ragukan Survei LSI Soal Perppu KPK

Hanura ragu karena survei dilakukan lewat wawancara telepon.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyampaian temuan survei terkait perppu UU KPK dan gerakan mahasiswa di mata publik, Jakarta, Ahad (6/10).
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyampaian temuan survei terkait perppu UU KPK dan gerakan mahasiswa di mata publik, Jakarta, Ahad (6/10).

REPUBLIKA.CO.ID,

JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura, Tri Dianto meragukan kualitas hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang merilis 76,3 persen respondennya menginginkan Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK).

Baca Juga

Hal itu, kata Tri Diantodi Jakarta, Selasa (8/10), lantaran hasil surveinya didapat lewat wawancara lewat telepon. Kemudian, jenis responden pun tidak jelas sehingga rawan untuk menghasilkan survei berdasarkan kepentingan pribadi.

"Biasanya kalau survei LSI bukan pakai telepon, tapi turun ke lapangan. Tapi, ya, terserah LSI saja. Mungkin LSI termasuk pendukung Perppu. Dan boleh saja itu. Yang penting dijelaskan," katanya.

Ia tidak sepakat jika Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu berdasarkan desakan atau hasil survei. Menurutnya, Presiden Jokowi memutuskan berdasarkan aspek filosofis dan konsep yang matang.

"Presiden bisa keluarkan Perppu, tapi kan perlu persetujuan DPR. Kalau DPR tidak setuju, kan Perppu kandas," kata Tri.

Menurut dia, masih ada saluran hukum bagi warga negara yang menolak suatu produk hukum. Salah satunya dengan menempuh gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia menganggap hal itu lebih bermartabat dibanding mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu. "Sebaiknya yang menolak untuk mengajukan judicial review ke MK," kata Tri.

Sebelumnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan, dari hasil surveinya sebanyak 76,3 persen publik mendukung Presiden menerbitkan Perppu KPK. Salah satu yang disoroti yakni

seperti SP3 kasus. Dalam UU KPK diatur dua tahun tidak selesai kasus langsung SP3. Sementara kasus korupsi itu seringkali melibatkan faktor politik dan ekonomi.

"Karena rumit ada banyak kasus yang tidak bisa diselesaikan dalam dua tahun. Tapi dalam revisi yang baru, lewat dua tahun langsung SP3, orang-orang yang korup juga bisa saja mengulur-ulur kan?, publik tahu model pelemahan dalam UU KPK," kata Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, di Jakarta, Minggu.

Publik, kata dia, menginginkan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK guna membatalkan undang-undang hasil revisi atau untuk merevisi pasal-pasal yang dianggap akan melemahkan lembaga anti rasuah tersebut.

Dari responden yang sama, LSI juga mendapat data sebanyak 70,9 persen publik percaya bahwa Undang-undang KPK hasil revisi merupakan tindakan pelemahan.

Kemudian publik yang meyakini undang-undang tersebut merupakan bentuk dari penguatan hanya berjumlah 18 persen saja, 11,1 persen lainnya menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.

LSI juga mendata sebanyak 60,7 persen mendukung demonstrasi mahasiswa menentang UU KPK, sementara, yang menolak hanya 5,9 persen saja

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement