REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menilai presiden sebaiknya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangan-Undang (Perppu) UU KPK dibandingkan menempuh jalur Legislative Review. Alasannya, Perppu merupakan upaya koreksi yang prosesnya lebih cepat.
Menurut Fajri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebaiknya segera keluarkan Perppu lantaran permasalah dalam UU KPK hasil revisi sudah tampak jelas dan sudah menuai polemik.
"Ketika memang Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah yakin dia mau keluarkan Perpu maka sebaiknya segera dilakukan. Itu prosesnya lebih singkat," kata Fajri dalam konfrensi pers Koalisi Save KPK di Kantor YLBHI, Jakarta, Ahad (6/10).
Sedangkan, legilative review, kata dia, akan memakan proses yang lebih panjang. Sebab akan dibahas dulu oleh DPR dari awal. Sementara DPR baru saja dilantik dan tidak mungkin segera membahas UU KPK.
Meski demikian, Perppu juga akan melewati proses di DPR untuk disetujui atau ditolak. "Namun dalam prosesnya hampir semua Perpu disetujui," kata Fajri.
Ia pun berpendapat, persetujuan DPR atas Perppu yang dikeluarkan presiden adalah proses politik selanjutnya. Maka dari itu, ucapnya, yang terpenting saat ini presiden mengeluarkan Perppu terlebih dahulu sebagai bentuk koreksi langsung oleh penguasa eksekutif.
Adapun materi dalam Perppu itu, ujar Fajri, haruslah berisikan dua poin pokok. Pertama, membatalkan semua UU KPK hasil revisi. Kedua, mengembalikan UU KPK seusai dengan UU Nomor 30 tahun 2002.