REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil riset yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendapati, bahwa masyarakat percaya demonstrasi yang dilakukan mahasiswa tidak ditunggangi. Survei dilakukan berangkat dari demonstrasi mahasiswa yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan.
Hasil survei menunjukkan bahwa, 59,7 persen masyarakat tahu tentang demonstrasi mahasiswa. Hanya 40,3 persen saja yang tidak mengikuti berita tentang aksi unjuk rasa tersebut.
Dari 59,7 persen yang mengetahui aksi demonstrasi itu, sebesar 46,8 persen responden berpendapat jika ada dua kelompok berbeda antara demonstasi mahasiswa dan kelompok aksi unjuk rasa anti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berdasarkan survei itu, mereka percaya jika kedua aksi dilakukan secara terpisah.
Sementara 16,4 persen percaya kalau demonstrasi digerakan oleh orang yang anti-Presiden Jokowi. Sedangkan 11,8 persen berpendapat jika demonstrasi mahasiswa sepenuhnya ditumpangi orang-orang anti Jokowi. Sebesar 25 persen memilih tidak menjawab atau tidak tahu.
Hasil survei juga mendapati bahwa 43,9 persen masyarakat tidak setuju jika aksi demonstrasi itu dianggap dilakukan untuk menggagalkan pelantikan presiden pada 20 Oktober nanti. Sementara, hanya 35,2 persen yang sepakat bila aksi unjuk rasa dilakukan untuk mengganggu pelantikan kepala negara terpilih.
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan, hasil survei itu memperlihatkan bahwa, masyarakat melihat aksi unjuk rsa yang telah dilakukan itu murni untuk menentang revisi UU KPK. Menurutnya, ada perbedaan sangat besar kalau dilihat dari hasil survei yang mendapati kalau sikap publik bersama mahasiswa yang menentang revisi UU KPK dalam demonstrasi tersebut.
"Jadi masyarakat bisa membedakan mana yang anti-Jokowi atau menggagalkan pelantikan presiden dengan mahasiswa yang arus utamanya menentang revisi UU KPK," kata Djayadi Hanan di Jakarta, Ahad (6/10).
Hasil survei LSI juga mendapati bahwa, masyarakat mendukung Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang (Perppu) berkenaan resivi UU KPK. sebesar 76,3 persen setuju agar presiden mengeluarkan Perppu KPK.
Sikap publik itu dikeluarkan setelah menilai, bahwa revisi UU KPK telah melemahkan upaya penanggulangan korupsi oleh lembaga antirasuah tersebut. Sebanyak 70,9 persen responden menyebut jika revisi UU telah melemahkan KPK.
Sebelumnya, survei dilakukan melalui wawancara telepon secara acak dari data responden yang dimiliki LSI. Dari total responden sebanyak 23.760 dipilih 17.425 yang memiliki telepon.
Survei dilakukan pada 4 hingga 5 Oktober tahun ini. Toleransi kesalahan survei diperkirakan 3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Survei dibiayai sepenuhnya oleh LSI.
Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsudin Haris mengatakan, hasil survei telah memperlihatkan penilaian masyarakat yang mengatakam bahwa reviai UU telah melemahkan KPK. Dia kemudian menagih janji kampanye presiden terpilih akan komitmennya menguatkan KPK dengan mengeluarkan Perppu KPK.
"Jadi nggak ada alasan bagi presiden untuk menunda terbitnya Perppu KPK," kata Syamsudin Haris.
Menurutnya, pelemahan lembaga antirasuah akibat revisi UU nomor Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu membawa negara pada ketidakpastian hukum. Hal itu, dia mengatakan, berdampak pada kaburnya investor yang awalnya ingin menanamkan modal mereka di Indonesia.
Dia menilai, UU KPK hasil revisi juga bertentangan dengan visi Jokowi yang ingin meningkatkan investasi. Marak dan merajalelanya korupsi, dia mengatakan, membuat para investor enggan mampir ke Indonesia.
"Nah makanya nggak ada yang mau nengok ke Indonesia, negara korupsi, pejabat korup, senhingga penting Jokowi menerbitkan Perppu KPK," katanya.